saling berbagi untuk sesama, sekecil apapun usaha tuk perbaikan berawal dari diri sendiri
Minggu, 19 Februari 2012
Sawerigading dan Ayam Jago
Dari istri yang pertama lahirlah sepasang anak kembar. Satunya berjenis kelamin laki-laki yang kelak bernama Sawerigading. Dan satunya lagi berjenis kelamin perempuan. Sejak kecil sepasang anak kembar ini dipisahkan oleh orang tuanya tanpa alasan yang jelas.
Ringkas cerita Sawerigading kecil telah tumbuh menjadi dewasa. Keinginan untuk memiliki pendamping hidup mulai bersemi dalam jiwanya. Sampai suatu saat ia bertemu dengan saudara kembarnya. Rasa cinta, dan keinginan untuk saling memiliki tumbuh begitu saja saat pertama kali Sawerigading menatap paras cantik saudara kembarnya. Karena sekian lama dipisahkan, mereka tidak menyadari bahwa sebenarnya mereka berdua adalah saudara kandung.
Ayahnya yang mengetahui bah wa Sawerigading telah jatuh cinta kepada saudara kandungnya sendiri tentu saja tinggal diam. Ia segera memerintahkan Sawerigading untuk menghadap kepadanya. “Ketahuilah anakku, bahwa mengharapkan pandamping hidup untuk saling menentramkan hati bukanlah hal yang keliru. Tapi merupakan satu pantangan terbesar dalam adat istiadat kita, jika menjadikan saudara kandung sendiri sebagai istri. Supaya kamu bisa mendapatkan pendamping hidup yang tidak menyalahi adat istiadat kita, besok pagi-pagi benar, berangkatlah kamu ke hulu sungai untuk menebang kayu Balandae. Dengan kayu itu buatlah kapal untuk membawa kamu berlayar ke negeri cina untuk meminang sepupumu yang bernama Cudai.
Esok paginya, saat matahari baru saja nampak di ufuk, berangkatlah ia menuju hulu sungai untuk menebang kayu Balandae, sebagaimana yang perintahkan oleh ayahnya. Sebenarnya ia tidak terlalu setuju dengan perintah ayahnya, akan tetapi semua itu dilakukannya karena takut dengan kemurkaan ayahnya.
Ditengah perasaannya yang dirundung duka karena tidak diperbolehkan mempersunting saudara kandungnya, rupanya pohon Balandae yang ditembangnya tidak juga tumbang, padahal pangkal dan batang pohon tersebut telah terpisah. Perasaan sawerigading semakin tidak menentu. Kebingungan dan kekesalan silih berganti berkecamuk dalam batinnya.
Sebagai seorang saudara kembar, perang batin dalam diri Sawerigading turut dirasakan oleh saudara kembarnya. Tanpa sepengetahuan Sawerigading, berangkatlah saudara kembarnya untuk menembang pohon Balandae. Ajaib, dalam satu kali tebasan, pohon yang memang sudah terpisah pangkal dan batangnya itu langsung tumbang ke tanah.
Keesokan harinya, betapa terkejutnya Sawerigading saat melihat bahwa pohon Balandae yang tak kunjung bisa ditumbangkannya kini telah berubah menjadi perahu layar yang siap untuk mengarungi samudera. Tapi ia tidak ambil pusing untuk mengetahui siapa yang telah membantunya membuat kapal. Baginya kapal telah siap dide pan mata, tidak ada gunanya memikirkan siapa yang membuat, satu hal yang pasti bahwa ia harus segera pulang untuk menyiapkan perbekalan untuk dibawa berlayar ke negeri cina.
Hari pemberangkatanpun tiba. Sawerigading segera berlayar mengarungi samudera luas. Berbagai rintangan dihadapinya dalam perjalanan. Dari gangguan alam seperti badai dan ombak sampai gangguan manusia yang berniat merompak kapal yang ditumpangi Sawerigading.
Berkat izin yang kuasa, segala gangguan dan rintangan yang didapatinya dalam perjalanan bisa dihadapi dengan baik oleh Sawerigading. Dan sampailah setelah berlayar beberapa lama, sampailah Sawerigading ke kerajaan cina.
“Angin apa gerangan yang membuat anakda jauh-jauh meninggalkan tanah kelahiran menuju daratan cina ?” tanya pamannya saat Sawerigading menghadap.
“Jika jodoh bisa datang tanpa dicari, mungkin anakda sampai saat ini masih menginjak tanah yang sama dengan tanah tempat anakda dilahirkan, tetapi karena jodoh ha rus dijemput, maka maksud kedatangan anakda kesini adalah untuk meminang putri paman raja.” ucap sawerigading mengutarakan maksud kedatangannya.
Mengetahui bahwa maksud kedatangan Sawerigading, adalah untuk melamar putrinya. Raja terdiam sejenak. Terlihat ia memikirkan sesuatu, sedangkan Saweringading hanya bisa menanti dengan perasaan cemas. Akhirnya Raja memerintahkan untuk memanggil Cudai, putrinya, untuk segera menghadap.
“Dari tanah Sulawesi yang jauh, Sawerigading yang merupakan saudara sepupumu berniat untuk menjalin tali kekeluargaan yang lebih dekat lagi dengan kita yang ada di negeri cina. Ayahanda tahu, bahwa dalam hidupmu kamu pasti memiliki mimpi, begitupun halnya dengan Sawerigading. Dan ketahuilah bahwa dunia ini terlalu luas, manusia tidak akan mampu untuk merealisasikan mimpinya seorang diri. Maukah kamu membantu Sawerigading menggapai mimpinya dan sekaligus membiarkan Sawerigading melumuri tangannya dengan usaha untuk membantumu mencapai mimpi ?” tanya Raja kepada Cudai.
Cudai yang saat itu bersimpuh di samping ayahnya berusaha untuk semakin menundukkan pandangannya. Ia kelihatan malu-malu.
“Ayahanda, bagi seorang putri seperti anakda, keinginan ayahanda juga merupakan keinginan anakda, karena anakda yakin bahwa apapun yang ayahanda inginkan pasti demi kebahagian anakda.” Ucap Cudai dengan nada suara malu-malu.
Mendengar bahwa Cudai bersedia untuk dipersunting oleh Sawerigading, perasaan raja sangat bahagia, karena ia tidak ingin membuat hati keponakannya kecewa, pun ia tidak ingin memaksakan keinginan kepada putri yang dicintainya. Tapi lebih dari itu semua perasaan Sawerigading lebih berbahagia, karena lamarannya diterima.
Pesta pernikahanpun digelar dengan meriah. Seluruh rakyat ikut merasakan kebahagian kedua mempelai yang juga berarti semakin mempererat hubungan kekeluargaan antara keluarga Sawerigading di Sulawesi dan keluarga Cudai di negeri Cina.
Setelah bertahun-tahun menetap di negeri cina, akhirnya pasangan suami-istri tersebut dikarunia seorang anak yang diberi nama La Galigo. Tapi saat La Galigo masih bayi. Sawerigading memutuskan untuk kembali ketanah kelahirannya, Sulawesi.
La Galigo kini mulai tumbuh tidak hanya menjadi pemuda yang gagah perkasa tapi juga cerdik cendekia dan bijak bestari. Saat La Galigo dewasa meminta izin untuk menemui ayahnya di tanah Sulawesi, ia dititipi oleh ibunya seekor ayam jago.
Ditanah Sulawesi, berkembang permainan adu ayam. Diantara mereka, terdapat seekor ayam aduan yang tak tertandingi. Bahkan beberapa ayam yang menjadi lawannya harus terkelapar mati. Pemilik ayam tersebut tidak lain adalah Sawerigading.
Suatu saat, sampailah La Galigo ke tanah sulawesi. Saat melihat ada orang yang sedang mengadu ayam, La Galigo segera menghampiri tempat tersebut. Sawerigading yang melihat ayam jago di tangan La Galigo kemudian berkata dengan suara lantang. “Wahai anak muda, bawalah kemari ayam yang ada ditanganmu itu. Biarkan ia merasakan tajamnya taji ayam jago milikku.”
Mendengar kalimat tersebut, La Galigo hanya tersenyum. Ia berniat memberi pelajaran pada orang yang terdengar angkuh tersebut. Ia pun memenuhi permintaan Sawerigading. Tidak berapa lama, kedua ayam tersebut terlibat dalam perkelahian yang sengit. Sampai suatu ketika ayam jago milik Sawerigading berlari meninggalkan arena aduan, lantaran tidak kuat lagi merasakan sakit.
Mengetahui ayam milik Sawerigading kalah, betapa terperanjatnya orang-orang yang menyaksikan kejadian itu, terlebih lagi Sawerigading. “Wahai anak muda, dari mana gerangan ayammu berasal ?” tanya Sawerigading. Kali ini nada bicaranya tidak lagi menyiratkan kesombongan, bahkan terkesan ada perasaan malu bercampur keheranan.
“Ayam saya berasal dari negeri Cina. Saya ke Sulawesi untuk mencari ayah saya.” Jelas La Galigo. Sawerigading kembali terkejut. Batinnya berkecamuk hebat. Pikirannya tiba-tiba melayang kepada anak dan istrinya yang ditinggalkan di negeri Cina.
“Siapa gerangan nama ayahmu itu anak muda ?” tanya Sawerigading lagi. Ia semakin tidak sabar untuk mengetahui identitas lawan bicaranya.
“Nama saya La Galigo, Ayah saya bernama Sawerigading dan Ibu saya bernama Cudai.” Jelas La Galigo.
“Tidak sia-sia perjalananmu, menempuh terjangan badai, mengarungi samudera luas dan menghadapi gelombang bahaya, karena ayah yang kamu cari adalah orang yang sekarang berdiri didepanmu. Sayalah Sawerigading yang kamu cari itu.” Ucap Sawerigading.
Mereka berduapun saling berpelukan. Setelah pertemuan itu, La Galigo dan Sawerigading sepakat untuk mengajak Cudai tinggal bersama mereka di tanah Sulawesi.
Catatan:
Legenda dari perjalanan hidup sawerigading ini dipercaya menjadi asal mula permainan adu ayam di Kab. Enrekang Sulawesi Selatan. Bahkan ada satu permainan anak kecil di Sulawesi Selatan yang disebut menebak ayam berupa mengenal suara l awan permainan dengan menanyakan asal ayam. (www.pondokbaca.com)
Diambil dari http://zoelk.wordpress.com
Bocah Angon menurut Ugo Wangsit Siliwangi
Bocah Angon menurut Ugo Wangsit Siliwangi
Wangsit Siliwangi :
Suatu saat nanti, apabila tengah malam
terdengar suara minta tolong, nah itu adalah tandanya.
Sosok Satrio Piningit memang masih misterius. Banyak sudah yang mencoba untuk menemukannya dengan caranya sendiri-sendiri. Alhasil ada yang yakin telah menemukannya, bahkan juga ada yang mengaku dirinyalah si Satrio Piningit tersebut. Apabila diteliti maka sosok yang telah ditemukan itu masih bisa diragukan apakah memang dia si calon Ratu Adil ?
Keragu-raguan yang muncul mendorong untuk menelaah dan mempelajari kembali apa yang telah diungkapkan dalam naskah-naskah leluhur mengenai sosok Satrio Piningit sejati. Salah satu naskah yang biasa kita gunakan sebagai rujukan yaitu Ugo Wangsit Siliwangi. Siliwangi dalam Ugo Wangsitnya menyebut si calon Ratu Adil dengan sebutan Bocah Angon atau Pemuda Penggembala. Beberapa hal yang disebutkan dalam Ugo Wangsit Siliwangi mengenai Bocah Angon yaitu :
1. Suara minta tolong.
Dalam Ugo Wangsit Siliwangi disebutkan “Suatu saat nanti, apabila tengah malam, dari gunung Halimun terdengar suara minta tolong, nah itu adalah tandanya. Semua keturunan kalian dipanggil oleh yang mau menikah di Lebak Cawéné.” Kata “suara minta tolong” sepertinya sama dengan ungkapan Joyoboyo dalam bait 169 yaitu “senang menggoda dan minta secara nista, ketahuilah bahwa itu hanya ujian, jangan dihina, ada keuntungan bagi yang dimintai artinya dilindungi anda sekeluarga“.
Bocah Angon di awal kemunculannya akan beraksi melakukan hal-hal sebagai pertanda kedatangannya. Salah satunya adalah meminta tolong kepada orang di sekitar daerah Gunung Halimun. Tidak jelas mengapa dia minta tolong kepada orang lain, apakah dia dalam kesulitan ataukah keperluan lainnya. Yang pasti bila telah terjadi hal demikian berarti itu pertanda akan kemunculannya.
Sementara dikaitkan dengan Ramalan Joyoboyo paba bait 169 disebutkan bila Bocah Angon tersebut “suka minta secara nista sebagai ujian”. Kalimat tersebut mengindikasikan bahwa minta tolong itu hanya sebatas ujian bagi yang dimintai pertolongan. Ujian apakah itu? belum diketahui ujian apa yang suka dilakukan Bocah Angon pada orang. Sebaiknya kita tunggu saja kejadiannya.
2. Mencari sambil melawan, melawan sambil tertawa.
Dalam Ugo Wangsit Siliwangi disebutkan “Suatu saat nanti akan banyak hal yang ditemui, sebagian-sebagian. Sebab terlanjur dilarang oleh Pemimpin Pengganti! Ada yang berani menelusuri terus menerus, tidak mengindahkan larangan, mencari sambil melawan, melawan sambil tertawa. Dialah Anak Gembala.” Kata terlanjur dilarang ini apa maksudnya? Apakah dilarang dalam mengungkap fakta-fakta, ato dilarang meluruskan sejarah? sepertinya masih butuh penafsiran lagi.
Yang pasti Bocah Angon sepertinya tidak peduli dengan larangan pemimpin. Bahkan bukan hanya tidak peduli dengan larangan tersebut, tetapi lebih dari itu Bocah Angon melawan larangan si pemimpin itu sambil tertawa. Tidak bisa dibayangkan bagaimana perasaan si pemimpin bila dilawan sambil tertawa. Bisa-bisa Bocah Angon dalam situasi bahaya nih karena kerjanya selalu melawan sang pemimpin pengganti.
Kata banyak yang ditemui sebagian-sebagian karena terlanjur dilarang pemimpin baru, menunjukkan bahwa yang akan ditemukan masyarakat memang hanya sebagian saja. Oleh karena sebagian saja maka yang ditemukan tersebut belumlah lengkap dan tentunya belum sempurna hasilnya. Tetapi tidak bagi Bocah Angon, dia terus saja mencari sambil melawan. Bisa jadi temuan si Bocah Angon ini kelak merupakan temuan yang paling lengkap dan mendekati kebenaran.
3. Dia gembalakan ranting daun kering dan sisa potongan pohon.
Dalam Ugo Wangsit Siliwangi disebutkan “Apa yang dia gembalakan? Bukan kerbau bukan domba, bukan pula harimau ataupun banteng. Tetapi ranting daun kering dan sisa potongan pohon. Dia terus mencari, mengumpulkan semua yang dia temui. Tapi akan menemui banyak sejarah/kejadian, selesai jaman yang satu datang lagi satu jaman yang jadi sejarah/kejadian baru, setiap jaman membuat sejarah. setiap waktu akan berulang itu dan itu lagi.”
Bocah Angon memiliki kebiasaan mengumpulkan daun dan ranting. Kata daun dan ranting yang disebutkan Ugo Wangsit Siliwangi dalam bahasa asli Sundanya yaitu “Kalakay jeung Tutunggul“. Kalakay merupakan daun lontar yang biasa digunakan oleh orang kita pada jaman dulu kala sebagai lembaran daun untuk menulis. Sementara Tutunggul merupakan ranting pohon yang biasa digunakan orang kita pada jaman dulu kala sebagai pena untuk menulis. Sehingga Kalakay dan Tutunggul bisa diartikan sebagai kertas dan pena.
Si Bocah Angon ini memiliki kegemaran suka menggembalakan kertas dan pena. Dia terus mengumpulkan dan mengumpulkan kedua barang tersebut sebagai gembalaannya. Tidak jelas kenapa dia suka menggembalakan kertas dan pena. Kata mengumpulkan itu berarti kertas dan pena tersebut tidak hanya 1 buah, tetapi jumlahnya banyak dan itu menjadi barang kegemarannya.
Selanjutnya disebutkan “Dia terus mencari, mengumpulkan semua yang dia temui. Tapi akan menemui banyak sejarah/kejadian“. Kalimat tersebut bisa berarti bahwa Bocah Angon menggembalakan kertas dan pena untuk menemukan sejarah dan kejadian. Ntah sejarah dan kejadian apa yang dia kumpulkan, tetapi bisa dimengerti bahwa di Nusantara banyak sekali sejarah yang dirubah, mungkin hal tersebut bisa juga terkait dengan pelurusan sejarah kita.
Dia akan terus mengumpulkan sejarah dan kejadian-kejadian penting tentunya untuk menyelesaikan masalah di Nusantara. Wajar saja bila sejarah ditelusuri karena memang untuk menyelesaikan suatu masalah tidak bisa tidak harus mengetahui awal sejarahnya bagaimana bisa terjadi. Dengan kegemarannya menelusuri sejarah dan kejadian yang dituangkan dalam kertas dan pena tersebut kelak masalah di Nusantara akan bisa dibereskan dengan mudah. Semoga.
4. Rumahnya di ujung sungai yang pintunya setinggi batu.
Dalam Ugo Wangsit Siliwangi disebutkan “lalu mereka mencari anak gembala, yang rumahnya di ujung sungai yang pintunya setinggi batu”. Kata di ujung sungai menunjukkan bahwa rumah Bocah Angon letaknya berada dekat dengan hulu sungai. Siliwangi tidak memberikan gambaran berapa jarak antara rumah dengan sungai tersebut. Bisa jadi hanya beberapa meter dari sungai, tetapi bisa jadi puluhan meter dari sungai.
Siliwangi juga tidak menyebutkan nama dari sungai tersebut sehingga rada menyulitkan untuk menentukan letak sungainya. Di Jawa terdapat banyak sekali sungai membentang dari utara hingga selatan. Dan rata-rata di pinggir sungai terdapat banyak rumah penduduk dan ini tentunya sangat menyulitkan untuk menentukan letak sungainya yang sesuai kata Siliwangi. Namun yang pasti Bocah Angon rumahnya dekat sungai sehingga bila ada yang mengaku dirinya Bocah Angon tetapi rumahnya jauh dari sungai berarti itu tidak sesuai dengan Ugo Wangsit Siliwangi.
Kemudian untuk kata pintunya setinggi batu masih perlu dipertanyakan, apakah atap rumahnya terbuat dari batu? dan juga apakah pintu rumahnya juga terbuat dari batu? kok seperti rumah nenek moyang kita dulu. Bisa jadi demikian tetapi mungkin juga tidak demikian.
Kalimat tersebut bisa dipahami bahwa rumah Bocah Angon tidak hanya 1 lantai, namun bertingkat rumahnya. Hal ini diperkuat dengan ungkapan Joyoboyo pada bait 161 yaitu “berumah seperti Raden Gatotkaca, berupa rumah merpati susun tiga“. Dari ungkapan Joyoboyo menunjukkan ada 3 lantai rumah dari Bocah Angon. Tentunya bukan rumah biasa, bisa jadi rumah tingkat ekonomi menengah atau memang Bocah Angon dari keluarga kaya? belum bisa dipastikan.
Oleh karena untuk membuat suatu rumah yang bertingkat dengan bahan semen untuk lantai 2nya, maka dari bahan semen yang padat otomatis akan membentuk batu yang keras. Sehingga bisa dipahami bila pintu lantai pertama akan setinggi batu (setinggi cor semen lantai 2). Memang kebanyakan rumah orang yang bertingkat pintunya pasti akan setinggi lantai 2, tepat di bawah cor semen yang telah menjadi batu tersebut. Jadi dapat disimpulkan bahwa rumah Bocah Angon memang bertingkat yang pintunya setinggi lantai tingkat 2nya.
5. Tertutupi pohon handeuleum dan hanjuang.
Dalam Ugo Wangsit Siliwangi disebutkan “rumahnya di ujung sungai yang pintunya setinggi batu, yang rimbun oleh pohon handeuleum dan hanjuang”. Kata rimbun oleh pohon Handeuleum dan Hanjuang berarti di depan rumah Bocah Angon terdapat 2 pohon yang sangat subur dan menjadi ciri khas rumahnya. Dalam hal ini hanya disebutkan 2 buah pohon saja, artinya memang hanya ada 2 buah pohon di depan rumahnya sebagai pembeda dari rumah lainnya.
Apabila ditelusuri kedua jenis pohon tersebut dalam istilah bahasa Indonesianya memang belum diketahui apa namanya. Kedua kata tersebut sepertinya bahasa kuno dari daerah Sunda tempat Siliwangi berada. Hingga kini belum ada pihak yang merasa mengetahui kedua jenis pohon tersebut. Bahkan orang-orang asli Sundapun juga mengaku tidak mengetahui kedua jenis pohon itu. Kita tunggu saja kelak akan kita ketahui juga.
Sementara itu beberapa kalangan justru menafsirkan kata Handeuleum dan Hanjuang sebagai simbol saja. Benarkah kedua pohon itu sebenarnya bukan pohon hidup di atas tanah, tetapi sekedar simbol saja? Coba anda lihat kembali Siliwangi menyebut Pemuda Penggembala dengan “Apa yang dia gembalakan? Bukan kerbau bukan domba, bukan pula harimau ataupun banteng. Tetapi ranting daun kering dan sisa potongan pohon.”
Kata pemuda penggembala itu cuma simbol dari Siliwangi. Kemudian simbol tersebut dijelaskan bila yang digembalakan bukan binatang, tetapi daun dan ranting. Sementara kata Handeuleum dan Hanjuang tidak ada kalimat penjelasan selanjutnya. Sehingga kedua kata tersebut dapat dipastikan memang dua buah pohon yang tumbuh di atas tanah. Apabila simbol tentunya Siliwangi akan menjelaskan maksudnya.
6. Pergi bersama pemuda berjanggut.
Dalam Ugo Wangsit Siliwangi disebutkan “Semua mencari tumbal, tapi pemuda gembala sudah tidak ada, sudah pergi bersama pemuda berjanggut, pergi membuka lahan baru di Lebak Cawéné!” Siapakah pemuda berjanggut itu? Penyebutan pemuda berjanggut ini masih perlu dipertanyakan. Apakah pemuda tersebut merupakan kerabat atau keluarga atau teman ataukah pengasuh si Bocah Angon? Belum jelas diketahui karena memang dalam Ugo Wangsit Siliwangi tidak menyinggung mengenai hal tersebut.
Dalam naskah-naskah lain memberitahukan bahwa Ratu Adil memiliki pengasuh yaitu Sabdo Palon. Mungkinkah pemuda berjanggut tersebut adalah Sabdo Palon? Sepertinya tidak karena Sabdo Palon merupakan sosok Jin, sementara penyebutan kata pemuda menunjukkan dia adalah manusia. Jadi pemuda berjanggut bukanlah Sabdo Palon.
Misteri ini masih sulit untuk diungkap yang sebenarnya. Pada saat Bocah Angon masih menjadi sosok yang misteri, pada saat yang sama pula ada sosok lain yaitu pemuda berjanggut yang jati dirinya juga masih misteri. Namun yang pasti pemuda tersebut memiliki janggut dan kelak akan kita ketahui setelah tiba waktu kemunculan Bocah Angon.
7. Pergi membuka lahan baru di Lebak Cawéné!
Dalam Ugo Wangsit Siliwangi disebutkan “Semua mencari tumbal, tapi pemuda gembala sudah tidak ada, sudah pergi bersama pemuda berjanggut, pergi membuka lahan baru di Lebak Cawéné!” Bocah Angon sepertinya tidak akan ditemukan sebelum kemunculannya. Ketika orang-orang sudah menemukan rumahnya yang di ujung sungai, dia telah pergi bersama pemuda berjanggut ke Lebak Cawéné.
Siliwangi tidak menyebutkan kemudian orang-orang akan berhasil menemukan Bocah Angon di Lebak Cawéné setelah gagal menemukan di rumahnya. Tidak ada kalimat tersebut dalam Ugo Wangsit Siliwangi. Karena tidak ada kata itu maka bisa disimpulkan bahwa jarak antara rumah dengan Lebak Cawéné tidak dekat bahkan mungkin sangat jauh.
Siliwangi juga tidak menyebutkan setelah pergi ke Lebak Cawéné si Bocah Angon kemudian kembali lagi ke rumahnya. Karena tidak ada kalimat yang menyebutkan hal tersebut berarti Lebak Cawéné merupakan tempat baru yang ditinggali Bocah Angon setelah rumahnya yang di ujung sungai di tinggal pergi. Apabila Bocah Angon kembali lagi ke rumahnya yang di ujung sungai, maka tentunya Siliwangi akan menyebutnya berhasil ditemukan di rumahnya. Sudah pasti bila orang telah menemukan rumahnya maka akan ditunggui kapan kembalinya. Tetapi ternyata tidak ada kalimat tersebut dalam Ugo Wangsit Siliwangi.
Sampai saat ini belum diketahui dimana letak Lebak Cawéné berada. Dalam peta Jawa maupun peta Indonesia, tidak ada daerah yang diberi nama Lebak Cawéné. Oleh karena namanya yang masih asing inilah maka banyak kalangan menafsirkan menurut keyakinannya masing-masing.
Ada yang menafsirkan Lebak Cawéné berada di lereng sebuah gunung. Ada juga yang mengatakan berada di petilasan Joyoboyo. Yang lain mengatakan berada di tempat yang ada guanya dan sebagainya membuat semakin tidak jelas saja letak Lebak Cawéné dimana. Tetapi apabila anda meyakini sebuah tempat merupakan Lebak Cawéné, maka bisa dipastikan anda akan memaksakan kehendak untuk menentukan 1 orang di daerah tersebut sebagai calon Ratu Adil. Wah jadi kasian pada orangnya kena sasaran.
Ketahuilah bahwa Siliwangi tidak menyebutkan Bocah Angon akan berhasil ditemukan di Lebak Cawéné. Di sisi lain Siliwangi juga tidak memberikan ciri-ciri Lebak Cawéné yang dia katakan sehingga mustahil Lebak Cawéné bisa diketahui sebelum Ratu Adil muncul, kecuali anda lebih sakti dari Siliwangi. Kemampuan sama dengan Siliwangi aja tidak mungkin apalagi lebih tinggi dari Siliwangi, jelas tidak mungkin lagi.
8. Gagak berkoar di dahan mati.
Dalam Ugo Wangsit Siliwangi disebutkan “Semua mencari tumbal, tapi pemuda gembala sudah tidak ada, sudah pergi bersama pemuda berjanggut, pergi membuka lahan baru di Lebak Cawéné! Yang ditemui hanya gagak yang berkoar di dahan mati”. Kata Gagak berkoar mungkinkah memang burung Gagak yang suka berkicau, ataukah itu merupakan simbol saja.
Banyak kemungkinan mengenai Gagak berkoar tersebut. Namun dalam naskah-naskah lain seperti yang diungkap Ronggowarsito dan Joyoboyo bahwa Bocah Angon sebelum menjadi Ratu Adil hidupnya menderita, dia sering dihina oleh orang. Apabila dikaitkan dengan hal tersebut maka Gagak berkoar itu bisa juga diartikan sebagai orang-orang yang suka menghina si Bocah Angon.
Oleh karena hidupnya yang selalu saja dihina orang, maka akhirnya Bocah Angonpun pergi meninggalkan rumahnya. Kemudian dia bersama pemuda berjanggut menuju ke Lebak Cawéné untuk membuka lahan baru disana. Semua mencari tumbal bisa saja diartikan sebagai mencari berita dan ketika yang dicari si Bocah Angon sudah tidak ada, maka tidak bisa tidak mencari berita dari para Gagak yang berkoar tersebut.
9. Ratu Adil sejati.
Dalam Ugo Wangsit Siliwangi disebutkan “Baik lagi semuanya. Negara bersatu kembali. Nusa jaya lagi, sebab berdiri ratu adil, ratu adil yang sejati. Tapi ratu siapa? darimana asalnya sang ratu? Nanti juga kalian akan tahu. Sekarang, cari oleh kalian pemuda gembala.” Kita disuruh Siliwangi untuk mencari Bocah Angon, karena dialah yang kelak akan menjadi Ratu Adil sejati.
Sepertinya SIliwangi bermaksud memberikan pesan untuk berhati-hati dalam mencari Bocah Angon. Hal ini dikarenakan banyak sekali Bocah Angon palsu akan bermunculan di Jawa ini. Kemunculan Bocah Angon palsu bisa jadi karena dukungan orang lain akan dirinya sehingga dipaksa cocok menjadi Ratu Adil, tetapi juga bisa jadi karena terburu-buru meyakini dirinyalah si Bocah Angon.
Lihatlah saat ini telah banyak terdengar dimana-mana dari Jawa bagian barat hingga Jawa bagian timur, orang-orang yang muncul diyakini sebagai Ratu Adil. Bahkan juga bermunculan dimana-mana orang yang mengakui dirinyalah Ratu Adil tersebut. Apabila dimintai bukti maka orang-orang tersebut akan mencocok-cocokkan diri dengan naskah-naskah yang ada untuk meyakinkan orang. Padahal kenyataan tidak semuanya cocok.
Untuk itulah Siliwangi berpesan agar kita mencari Ratu Adil sejati, karena Ratu Adil sejati hanya satu sementara Ratu Adil palsu banyak sekali. Walaupun banyak Ratu Adil palsu, hal itu tidak akan mengubah kepastian munculnya yang asli. Apabila yang asli telah muncul maka semua akan terbukti mana yang asli dan mana yang palsu sesuai kata Siliwangi “Tapi ratu siapa? darimana asalnya sang ratu? Nanti juga kalian akan tahu. Sekarang, cari oleh kalian pemuda gembala.”
Demikianlah beberapa hal mengenai Bocah Angon sesuai yang disebutkan dalam naskah Ugo Wangsit Siliwangi. Siliwangi sengaja tidak begitu jelas menggambarkan si Bocah Angon dalam naskahnya sehingga sangat menyulitkan kita untuk menemukannya. Kesengajaan ini dimengerti karena memang akan banyak pihak-pihak yang tentunya menghalangi kemunculan Ratu Adil dengan berbagai alasannya.
Pada saat Siliwangi tidak memberikan gambaran yang jelas mengenai Bocah Angon. Di waktu yang sama pula kita disuruh untuk mencari si Bocah Angon tersebut, memangnya kita ini terlahir sebagai detektif semua. Namun yang pasti kelak akan diketahui juga mana Ratu Adil palsu dan mana Ratu Adil yang sejati tentunya setelah tiba waktu kemunculannya. Untuk itu baik ditunggu, dicari maupun tidak sama sekali sepertinya hasilnya tetap sama. Waktunya akan segera tiba.
Kontrofersi, Senin 14 Juli 2008
Eddy Corret.
http://eddycorret.wordpress.com/2008/07/14/bocah-angon-menurut-ugo-wangsit-siliwangi/