saling berbagi untuk sesama, sekecil apapun usaha tuk perbaikan berawal dari diri sendiri
Kamis, 11 Agustus 2011
Aku berjalan di mazhab para pecinta untuk menemuiMu..: Purnama dan Ilalang
Aku berjalan di mazhab para pecinta untuk menemuiMu..: Purnama dan Ilalang: "hari ini... aku masih belajar tentang kata hati yg bersampul.. biru...merah...pink....dan apapun... jika aku kamu salahkan...maka inil..."
Selasa, 09 Agustus 2011
Lailatul Qadar | Artikel
Lailatul Qadar | Artikel
Allah menurunkan Wahyu, Mukjizat Agung, Kitab Sucinya, di malam terang benderang, yang bertabur Cahaya, dari pendaran yang Maha Cahaya, lebih dahsyat dari seribu bulan Cahaya.
Syeikh Abdul Qadir al-Jilany memaparkan, "Para malaikat pada turun dan (begitu juga) ar-Ruh (Jibril) di dalam malam itu. " Jibril turun disertai dengan 70 ribu malaikat, dan ia bertindak sebagai pemimpinnya. Jibril terus menerus memberi salam kepada mereka yang sedang duduk (beribadah), sementara seluruh malaikat yang lain memberi salah kepada mereka yang sedang tidur. Allah sendiri yang terus memberi salam kepada mereka yang bangkit berdiri menuju kepadaNya. Sebagaimana Salam Allah kepada hamba-hamba-Nya yang beriman yang menjadi ahli surga di surga, dengan firman-Nya:
Salaamun Qaulan min Rabbir Rahiim (Salam yang terucap dari Tuhan Yang Maha Pengasih). Maka, berkenan pula Allah memberikan salam kepada para hamba-Nya yang senantiasa berbuat kebajikan di dunia, mendapatkan anugerah kebaikan luhur dan kebahagiaan di zaman 'azali. Yaitu para hamba-Nya yang senantiasa fana' atau sirna dari segala makhluk, dan abadi bersama Tuhannya, senantiasa tenteram menuju kepada Allah Ta'ala Yang Maha Benar.
Pada malam Lailatul Qadar itu, tak ada yang tersisa dari suatu tempat melainkan ada malaikat yang sedang sujud di sana, atau berdiri mendoakan hamba-Nya yang mukmin dan mukminat. Kecuali tempat-tempat seperti gereja, biara, tempat ibadah majusi dan tempat-tempat berhala, atau sebagian tempat yang menjadi pembuangan kotoran maksiat. Di tempat-tempat itu malaikat tidak mati bersujud dan berdoa.
Malaikat-malaikat itu senantiasa mendoakan kaum mukminin dan mukminat. Sedangkan Jibril as, sama sekali tidak mendoakan kaum mukminin dan mukminat, melainkan hanya menyalami dan bersalaman kepada mereka.
Jika Anda sekalian sedang dalam keadaan beribadah, maka Jibril menyalami, "Salam kepadamu, semoga diterima dan mendapatkan kebaikan." Jika anda ditemui sedang dalam keadaan bermaksiat, Jibril menyalami, "Salam bagimu, semoga engkau mendapatkan ampunan." Jika anda ditemui dalam keadaan tidur, Jibril menyalami, "Salam bagimu, semoga engkau mendapatkan ridla- Nya." Jika Anda sudah dalam kuburan (mati) Jibril menyalami, "Salam bagimu dengan ruh dan aroma keharuman."
Itulah yang difirmankan Allah, "minKulliAmrinSalaam" (dalam segala hal, ada Salam.)
Ada yang menyebutkan, bahwa para malaikat itu hanya menyalami mereka yang taat, sementara tidak pada mereka yang sedang bermaksiat. Di antara ahli maksiat itu adalah mereka yang berbuat kedhaliman, mereka yang memakan makanan haram, mereka yang memutus tali sillaturrahim, mereka yang mengadu domba, mereka yang memakan harta anak yatim, mereka itu tidak mendapatkan salam dari para malaikat. Lalu manakah bencana yang lebih besar dibanding bencana seperti itu?
Padahal bulan Ramadlan diawali oleh rahmat, ditengahi oleh ampunan dan diakhiri dengan kebebasan dari neraka. Sementara Anda tidak memiliki bagian dari salam para malaikat itu? Bukankah itu semua gara-gara Anda jauh dari Yang Maha Pengasih? dan Anda juga tergolong para
penentang Allah dan mensakralisasi tindakan syetan? Anda berhias dengan riasan penempuh jalan neraka? Begitu pula karena Anda jauh dan mengabaikan dari para penempuh jalan surga? Anda juga hijab dari Tuhan yang memiliki kekuasaan atas bahaya dan kebajikan? Padahal bulan Ramadlan adalah bulan kejernihan, bulan keselarasan bersama Allah, bulan para pendzikir-Nya, bulan orang-orang sabar dan bulan para shadiqin. Lantas apabila tidak ada bekas dalam hati Anda, dan Anda tidak mencabut akar kemaksiatan dalam hati Anda, menjauhi para pelaku kejahatan dan kemungkaran, lalu pengaruh apa yang bisa membekas dalam hati Anda itu? Apa yang Anda harapkan dari selain kebajikan? Apa yang masih anda sisakan dalam jiwa Anda? Kebahagiaan manakah yang bisa Anda raih di sana?
Ingatlah wahai orang yang sangat kasihan, terhadap apa yang menempel pada diri Anda. Bangkitlah dari kelelapan yang meninabobokan Anda, membuat Anda alpa. Lihatlah pada yang memberi petunjuk pada Anda, sisa-sisa bulan Anda, dengan tindakan taubat dan kembali. Nikmatilah bulan ini dengan istigfar dan kepatuhan, agar Anda meraih rahmat dan kasih sayang Allah. Anda harus membatu dengan segala hal yang mengarah pada sikap negatif Menangislah pada diri sendiri atas dorongan yang menyeret Anda pada cacat-cacat jiwa, kebinasaan dan tragedi. Betapa banyak orang berpuasa, namun hakikatnya tidak pernah berpuasa selamanya. Banyak orang yang berdiri tegak untuk ibadah, hakikatnya tak pemah ibadah selamanya. Betapa banyak orang beramal, namun tanpa pahala ketika amal itu usai dilakukan. Amboi, apakah puasa kita diterima, ibadah kita diterima, atau sebaliknya semua itu ditolak dan dilemparkan ke wajah kita sendiri? Amboi, betapa kita telah menolak ibadah yang seharusnya diterima, dan menghormati ibadah yang seharusnya ditolak?
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW,
"Betapa banyak orang berpuasa, namun tak lebih dari lapar dan dahaga. Betapa banyak orang yang tegak beribadah, melainkan hanya kelelahan belaka.."
[I]Salam kepadamu wahai bulan puasa.
Salam kepadamu wahai bulan kebangkitan. Salam kepadamu wahai bulan iman.
Salam kepadamu wahai bulan al-Qur 'an.
Salam kepadamu wahai bulan cahaya-cahaya Salam kepadamu wahai bulan maghfirah dan ampunan.
Salam kepadamu wahai bulan derajat dan keselamatan dari keburukan.
Salam kepadamu wahai bulan orang-orang yang bertobat, beribadat.
Salam kepadamu wahai orang-orang ma 'rifat Salam kepadamu wahai bulan orang yang tekun beribadat.
Salam kepadamu wahai bulan yang aman Engkau telah menahan orang-orang maksiat Engkau telah bermesraan dengan ahli taqwa Salam kepada bilik dan cahaya-cahaya yang cemerlang dan mata yang terjaga air mata yang melimpah mihrab yang terang benderang ungkapan yang suci nafas-nafas yang membubung dari kalbu-kalbu yang bergelora.
Tuhan,jadikanlah kami tergolong mereka yang Engkau terima puasanya, shalatnya, dan Engkau ganti keburukan dengan kebajikannya, dan Engkau masukkan dengan rahmat-Mu dalam surga-Mu, dan Engkau tinggikan derajat mereka, wahai Yang Maha Pengasih dan Penyayang.[/I]
-M. Luqman Hakiem-
Allah menurunkan Wahyu, Mukjizat Agung, Kitab Sucinya, di malam terang benderang, yang bertabur Cahaya, dari pendaran yang Maha Cahaya, lebih dahsyat dari seribu bulan Cahaya.
Syeikh Abdul Qadir al-Jilany memaparkan, "Para malaikat pada turun dan (begitu juga) ar-Ruh (Jibril) di dalam malam itu. " Jibril turun disertai dengan 70 ribu malaikat, dan ia bertindak sebagai pemimpinnya. Jibril terus menerus memberi salam kepada mereka yang sedang duduk (beribadah), sementara seluruh malaikat yang lain memberi salah kepada mereka yang sedang tidur. Allah sendiri yang terus memberi salam kepada mereka yang bangkit berdiri menuju kepadaNya. Sebagaimana Salam Allah kepada hamba-hamba-Nya yang beriman yang menjadi ahli surga di surga, dengan firman-Nya:
Salaamun Qaulan min Rabbir Rahiim (Salam yang terucap dari Tuhan Yang Maha Pengasih). Maka, berkenan pula Allah memberikan salam kepada para hamba-Nya yang senantiasa berbuat kebajikan di dunia, mendapatkan anugerah kebaikan luhur dan kebahagiaan di zaman 'azali. Yaitu para hamba-Nya yang senantiasa fana' atau sirna dari segala makhluk, dan abadi bersama Tuhannya, senantiasa tenteram menuju kepada Allah Ta'ala Yang Maha Benar.
Pada malam Lailatul Qadar itu, tak ada yang tersisa dari suatu tempat melainkan ada malaikat yang sedang sujud di sana, atau berdiri mendoakan hamba-Nya yang mukmin dan mukminat. Kecuali tempat-tempat seperti gereja, biara, tempat ibadah majusi dan tempat-tempat berhala, atau sebagian tempat yang menjadi pembuangan kotoran maksiat. Di tempat-tempat itu malaikat tidak mati bersujud dan berdoa.
Malaikat-malaikat itu senantiasa mendoakan kaum mukminin dan mukminat. Sedangkan Jibril as, sama sekali tidak mendoakan kaum mukminin dan mukminat, melainkan hanya menyalami dan bersalaman kepada mereka.
Jika Anda sekalian sedang dalam keadaan beribadah, maka Jibril menyalami, "Salam kepadamu, semoga diterima dan mendapatkan kebaikan." Jika anda ditemui sedang dalam keadaan bermaksiat, Jibril menyalami, "Salam bagimu, semoga engkau mendapatkan ampunan." Jika anda ditemui dalam keadaan tidur, Jibril menyalami, "Salam bagimu, semoga engkau mendapatkan ridla- Nya." Jika Anda sudah dalam kuburan (mati) Jibril menyalami, "Salam bagimu dengan ruh dan aroma keharuman."
Itulah yang difirmankan Allah, "minKulliAmrinSalaam" (dalam segala hal, ada Salam.)
Ada yang menyebutkan, bahwa para malaikat itu hanya menyalami mereka yang taat, sementara tidak pada mereka yang sedang bermaksiat. Di antara ahli maksiat itu adalah mereka yang berbuat kedhaliman, mereka yang memakan makanan haram, mereka yang memutus tali sillaturrahim, mereka yang mengadu domba, mereka yang memakan harta anak yatim, mereka itu tidak mendapatkan salam dari para malaikat. Lalu manakah bencana yang lebih besar dibanding bencana seperti itu?
Padahal bulan Ramadlan diawali oleh rahmat, ditengahi oleh ampunan dan diakhiri dengan kebebasan dari neraka. Sementara Anda tidak memiliki bagian dari salam para malaikat itu? Bukankah itu semua gara-gara Anda jauh dari Yang Maha Pengasih? dan Anda juga tergolong para
penentang Allah dan mensakralisasi tindakan syetan? Anda berhias dengan riasan penempuh jalan neraka? Begitu pula karena Anda jauh dan mengabaikan dari para penempuh jalan surga? Anda juga hijab dari Tuhan yang memiliki kekuasaan atas bahaya dan kebajikan? Padahal bulan Ramadlan adalah bulan kejernihan, bulan keselarasan bersama Allah, bulan para pendzikir-Nya, bulan orang-orang sabar dan bulan para shadiqin. Lantas apabila tidak ada bekas dalam hati Anda, dan Anda tidak mencabut akar kemaksiatan dalam hati Anda, menjauhi para pelaku kejahatan dan kemungkaran, lalu pengaruh apa yang bisa membekas dalam hati Anda itu? Apa yang Anda harapkan dari selain kebajikan? Apa yang masih anda sisakan dalam jiwa Anda? Kebahagiaan manakah yang bisa Anda raih di sana?
Ingatlah wahai orang yang sangat kasihan, terhadap apa yang menempel pada diri Anda. Bangkitlah dari kelelapan yang meninabobokan Anda, membuat Anda alpa. Lihatlah pada yang memberi petunjuk pada Anda, sisa-sisa bulan Anda, dengan tindakan taubat dan kembali. Nikmatilah bulan ini dengan istigfar dan kepatuhan, agar Anda meraih rahmat dan kasih sayang Allah. Anda harus membatu dengan segala hal yang mengarah pada sikap negatif Menangislah pada diri sendiri atas dorongan yang menyeret Anda pada cacat-cacat jiwa, kebinasaan dan tragedi. Betapa banyak orang berpuasa, namun hakikatnya tidak pernah berpuasa selamanya. Banyak orang yang berdiri tegak untuk ibadah, hakikatnya tak pemah ibadah selamanya. Betapa banyak orang beramal, namun tanpa pahala ketika amal itu usai dilakukan. Amboi, apakah puasa kita diterima, ibadah kita diterima, atau sebaliknya semua itu ditolak dan dilemparkan ke wajah kita sendiri? Amboi, betapa kita telah menolak ibadah yang seharusnya diterima, dan menghormati ibadah yang seharusnya ditolak?
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW,
"Betapa banyak orang berpuasa, namun tak lebih dari lapar dan dahaga. Betapa banyak orang yang tegak beribadah, melainkan hanya kelelahan belaka.."
[I]Salam kepadamu wahai bulan puasa.
Salam kepadamu wahai bulan kebangkitan. Salam kepadamu wahai bulan iman.
Salam kepadamu wahai bulan al-Qur 'an.
Salam kepadamu wahai bulan cahaya-cahaya Salam kepadamu wahai bulan maghfirah dan ampunan.
Salam kepadamu wahai bulan derajat dan keselamatan dari keburukan.
Salam kepadamu wahai bulan orang-orang yang bertobat, beribadat.
Salam kepadamu wahai orang-orang ma 'rifat Salam kepadamu wahai bulan orang yang tekun beribadat.
Salam kepadamu wahai bulan yang aman Engkau telah menahan orang-orang maksiat Engkau telah bermesraan dengan ahli taqwa Salam kepada bilik dan cahaya-cahaya yang cemerlang dan mata yang terjaga air mata yang melimpah mihrab yang terang benderang ungkapan yang suci nafas-nafas yang membubung dari kalbu-kalbu yang bergelora.
Tuhan,jadikanlah kami tergolong mereka yang Engkau terima puasanya, shalatnya, dan Engkau ganti keburukan dengan kebajikannya, dan Engkau masukkan dengan rahmat-Mu dalam surga-Mu, dan Engkau tinggikan derajat mereka, wahai Yang Maha Pengasih dan Penyayang.[/I]
-M. Luqman Hakiem-
ngadhem
بِسِْم اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمْ
ِاسْتَغْفِرُوْارَبَّكُمْ ِانَّه كَانَ غَفَّارَ اَسْتَغْفِرُالله َالْعَظِيْمِ ……….. ×١۰٠
1.ISTAGHFIRUU ROBBAKUM INNAHUU KAANA GHOFFARO ..ASTAGHFILLOHAL’ADZIM………x100
ِانَّ الله َغَفُّوْرُ الرَّحِيمِْ………. ×٣
INNALOOHA GHOFUURURROHIM ……X3
Sesungguhnya ALLOH itu DZAT yang MAHA mengampuni dan Mengasihi
يَاقَدِيمْ ُ ………….. ×١٠٠
2.YAA QODIIMU …..X100
Yang maha dahulu
ياَقَدِيْمَ اْﻹِحْسَانِ …………… ×٣
YAA QODIIMAL IHSAAN…..X3
يَالَطِيْفُ …………. ×١٠٠
3.YAA LATHIIFU ….X100
Yang MAHA (welas)Mengasihi
اَلله ُلَطِيْفٌ بِعِباَدِه يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُوَهُوَالْقَوِيُّ اْلعَزِيْزُ …………×٣.
ALLOHU LATHIIFUM BI’IBAADIHI YARZUQU MAYYASAA’ WAHUWAL QOWIYYUL ‘AZIIZ
يَاجَمِيْعُ ………….. ×١۰٠
4.YAA JAMII’U …..X100
Yang MAHA Mengumpulkan.
رَبنَّاَ اِنَّكَ جَامِعُ النّاَسِ ِليَوْمٍ لاَرَيْبَ فِيْهِ ِانَّ الله َلاَيخُلِْفُ اْلِميْعَادُ…….×٣
ROBBANAA INNAKA JAAMIUNNASI LIYAUMIL LAA ROIBA FIIH INNALLOHA LAA YUKHLIFUL MIIAAD
يَا قَدِيْرُ ……………. ×١٠٠
YAA QODIIRU…
اِنَّ الله َعَلَى كُلِّ شَيْءٍقَدِيْرُ………..×٣
INNALLOHA ALAA KULLI SYAIINN QODIIR…
حَسْبُنَا الله ُوَنِعْمَ اْلوَكِيْلُ ……….. ×١٠٠
HASBUNALLOHU WA NI`MALINNALLOHA ALAA KULLI SYAIINN QODIIR…HASBUNALLOHU WAKIIL
نِعْمَ اْلمَوْلَى وَنِعْمَ النَّصِيْرُ غُفْرَنَكَ رَبَّنَا وَاِلَيْكَ الْمَصِيْرُ
NI`MAL MAULAA WA NI`MANNASHIIR GHUFROONAKA ROBBANAA WA ILAIKAL MASHIIR
لاَحَوْلَ وَلاَقُوَّةَ اِلاَّ بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ …………… ×١٠٠
LAA HAULA WALAA QUWWATA ILLAA BILLAHIL `ALIYYIL `ADZIIM
الَّذِيْنَ امَنُوْاوَتَطَْمَئِنُّ ْقُلُوْبُهُمْ بِذِكْرِاللهِ اَلاَبِذِكْرِ اللهِ تَطْمَئِنُّ اْلقُلُوْبُ.
ALLADZIINA AAMANUU WA TATHMAINNU QULUBUHUM BIDZIKRILAH ALAA BIDZIKRILLAHI TATH MAINNUL QULUB…
اَفْضَلُ الذِّكْرِ فَاعْلَمَ اَنَّهُ
AFDHOLUDZ DZIKRI FA`LAM ANNAHU….
لاَاِلهَ ِالاَّ الله ………… حَيٌّ مَوْجُوْدٌ
LAA ILAAHA ILLALLOH………………..HAYYUM MAUJUUD
لاَاِلهَ ِالاَّ الله ………… حَيٌّ بَاقٍ
LAA ILAAHA ILLALLOH………………..HAYYUM BAAQ
لاَاِلهَ ِالاَّ الله ُ………… مُحَمَّدٌ الرَّسُول ُالله صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ
LAA ILAAHA ILLALLOH……..MUHAMMADUR ROSULULLOH SHOLLALLOHU `ALAIHI WASALLAM
لاَاِلهَ ِالاَّ الله …………………………. ×١٠٠٠
LAA ILAAHA ILLALLOH……..
لاَاِلَهَ اِلاَّ الله…………………. ِﺇيْمَنًا بِاللهِ
LAA ILAAHA ILLALLOH………………..IMANAN BILLAAH
لاَاِلَهَ اِلاَّ الله…………………. يَقِيْناًبِاللهِ
LAA ILAAHA ILLALLOH………………..YAQIINAN BILLAAH
لاَاِلَهَ اِلاَّ الله…………………. اَمَنْتُ باِللهِ
LAA ILAAHA ILLALLOH………………..AAMANTU BILLAAH
لاَاِلَهَ اِلاَّ الله…………………. اَمَنَةً باِلله
LAA ILAAHA ILLALLOH………………..AMANATAN BILLAAH
لاَاِلَهَ اِلاَّ الله…………………. مُحَمَّدٌرَسُوْلُ الله
LAA ILAAHA ILLALLOH………………..MUHAMMADUR ROSULULLOH
لاَاِلَهَ اِلاَّ الله…………………. اِيْمَاناًوَتَصْدِيْقاً
LAA ILAAHA ILLALLOH………………..IIMANAN WA TASHDIIQON
لاَاِلَهَ اِلاَّ الله…………………. تَلَطُّفًاوَرِزْقاً
LAA ILAAHA ILLALLOH………………..TALATH THUFAN WA RIZQON
لاَاِلَهَ اِلاَّ الله…………………. اَلْمَلِكُ اْلحَقُّ اْلمبُِيْن مُحَمَّدٌرَسُوْلُ الله
صَادِقُ اْلوَعْدِاْلاَمِيْنَ
LAA ILAAHA ILLALLOH………………..AL-MALIKUL HAQQUL MUBIN MUHAMMADUR ROSUULULLOH SHODIQUL WA`DIL AMIIN
صَلَى الله ُعَلَى مُحَمَّدٍ صَلَى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ ………×٣
SHOLLALLOH `ALAA MUHAMMAD SHOLLALLOHU `ALAIHI WASALLAM
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ النُّوْرِ الذَّاتِيْ,وَالسِّرِ السَّارِيْ فِيْ سَاِئرِاْلأَسْمَاءِ وَالصِّفَاتِ…….×٣
ALLOHUMMA SHOLLI `ALAA SAYYIDINAA MUHAMMADIN NUURIDZAATI WA SIRRI SAARIY FII SAAIRIL ASMAI WASSIFATI
اَللَّهُمَّ اَنْتَ رَبِّيْ لاَاِلَهَ اِلاَّ اَنْتَ, خَلَقْتَنِيْ وَاَناَ عَبْدُكَ, وَاَناَ عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَسْتَطَعْتُ,اَبُوْؤُلَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ,وَابُؤُْ بِذَنْبِيْ فَاغْفِرْلِيْ فَإِنَّهُ لاَيَغْفِرُ
الذُّنُوْبَ اِلاَّاَنْتَ ……….×٣
ALLOHUMMA ANTA ROBBII ,LAA ILLAA ANTA KHOLAQTANII WA ANAA `ABDUKA ,WA ANAA `ALAA `AHDIKA WAWA`DIKA MASTATHO`TU ABUU-U LAKA BINI`MATIKA `ALAYYA ,WA ABUU-U BI DZAMMBI FAGHFIRLII ,FAINNAHU LAA YAGHFIRUDZ-DZUNUBA ILLA ANNTA.
رَبَّناَظَلَمْناَاَنْفُسَناَوَاِنْ لمَ ْتَغْفِرْلَناَوَتَرْحَمْناَلَنَكُوْنَنَّ مِنَ الْخَاسِرِيْنَ ……..×٣
ROBBANA DZOLAMNAA ANNFUUSANAA WA IL-LAM TAGHFIR LANAA WA TAR-HAMNAA LANAKUUNANNA MINAL KHOSIRIIN.
لاَاِلَهَ اِلاَّ اَنْتَ سُبْحَنَكَ اِنيِّ كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِيْنَ…………×٣
LAA ILAA-HA ILLA ANNTA SUBHANAKA INNII KUNNTU MINADZ-DZOOLIMIIN.
اَسْتَغْفِرُواالله َاْلعَظِيْمِ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ عَظِيْمِ لاَيَغْفِرُالذُّنُوْبَ اِلاَّرَبِّ اْلعَالَمِيْنَ اِلَهِ ياَكَرِيْمَ………×٣
ASTAGH FIRULLOH HAL`ADZIIM MINN KULLI DZAMMBIN `ADZIIM LAA YAGHFIRUDZ-DZUNUBA ILLA ROBBUL `AALAMIIN.
ياَالتَوَّابَ تُبْ عَلَيْناَ {×٢ } وَارْحَمْناَوَانْظُرْاِلَيْناَ {×٢}…………×٣
YAA TAWWAB TUB `ALAINAA X2 WARHAMNAA WANDZUR ILAINAA X2
ياَلَطِيْفاً بِخَلْقِي أُلْطُفْ بِناََ, ياَلَطِيْفَ { ×٥ } ……….×٣
YAA LATHIFAM BI-KHOLQII ULTHUF BINAA , YAA LATHIIF.
ياَ اَرْ حَمَ الرَّحِيْمِيْنَ فَرِّجْ عَلَى الْمُسْلِمِيْنَ
YAA ARHAMA ROHIIMIIN FARRIJ `ALAL MUSLIMIIN
ياَ رَبـَّناَ ياَ كَـرِيْمَ ياَ رَبـَّناَ ياَ رَ حِـيْمَ
YAA ROBBANAA YAA KARIIM YAA ROBBANAA YAA ROHIIM
اَنْتَ الْجَوَادُ الْحَلِيْمُ وَاَنْـتَ نِـعْمَ الْمُعِيْن
ANNTAL JAWADUL HALIIM WA ANNTA NI`MAL MU`IIN
وَلَيْسَ نَرْجُوْ سِوَاك فَادْرِك اِلَـهِيْ دَرَاك
WA LAISA NAR-JUU SIWAAK FADRIK ILLAHII DAROOK
قَبْلَ اْلفَناَ وَالْهَلاَ ك يَـعُـمُّ دُنْـياَ وَدِيْن
QOBLAL FANAA WAL-HALAAK YA`UMMUD DUNYAA WADDIIN
وَمَـا َلـناَ رَبُّـناَ سِـوَا كَ ياَ حَسْـبَناَ
WA MAA LANAA ROBBUNAA SIWAAKA YAA HASBANAA
ياَ ذَا اْلعُلَى وَاْلغِنىَ وَياَقَـوِيُّ ياَمَـتِـيْن
YAA DZAL `ULLA WAL GHINAA WA YAA QOW-WIYU YAA MATIIN
نَسْـأَلُكَ وَالِي يُقِيْم وَاْلعَدْلَ كَيْ نَـسْتَقِيْم
NAS-ALUK WALIY-YUQIIM WAL `ADLA KAI NASTAQIIM
عَلَى هُدَا كَ اْلقَوِيْم وَلاَ نُطِيْعُ اللَّعِـيْن
`ALAA HUDAA KAL QOWIIM WA LAA NUTHII`UL LA`IIN
ياَ رَبَّناَ ياَ مُـجِيْب اَنْتَ السَّمِيْعُ اْلقَرِيْب
YAA ROBBANAA YAA MUJIIB ANNTAS-SAMII`UL `ALIIM
ضاَقَ اْلوَسِيْعُ الرَّحِيْب فَا نْظُرْاِلَى الْمُؤْمِنِيْنَ
DHOO-QOL WASII`UR ROHIIB FANNDZUR ILAL MU`MINIIN
وَاغْفِرْلِـكُلِّ الذُّ نُوْب وَاسْتُرْ لِكُلِّ اْلغُيُوْب
WAGHFIR LIKULLIDZ DZUNUUB WASTUR LIKULLIL `UYUUB
وَاكْشِفْ لِكُلِّ اْلكُرُوْب وَاكْفِ َأذَى الْمُؤْمِنِيْن
WAKSYIF LIKULLIL KURUUB WAKFI A-DZAL MU`MINIIN
وَاخْتِمْ بِأَحْسَنِ خِـتَام ِاذَا دَناَ اْلاِنْصِـرَام
WAKHTIM BI-AHSAN KHITAAM IDZA DANAL INSY-SYIROOM
وَحاَنَ حِيْنُ الْحِمـَام وَزَادَ رَشْحُ اْلجَبِيْن
WA HAANA HIINAL HIMAAM WA ZAA-DA ROSY-HUL JABIIN
ثُمَّ الصَّلاَة وَالسَّـلاَم عَلَى شَـفِيْعِ اْلأَناَم
TSUMMASH SHOLAA WAS-SALAAM `ALAA SYAFII`IL ANAAM
وَاْلأَ لِ نِعْمَ اْلكِـرَا م وَالصَحْبِ وَالتَّابِعِيْنَ
WAL ALI NI`MAL KIROOM WA SHOHBI WAT-TABI`IIN
Minggu, 07 Agustus 2011
Suci Badan Suci Badan Suci Qalbu
Suci Badan Suci Badan Suci Qalbu
Syeikh Ahmad ar-Rifa’y
Rasulullah saw, bersabda:
“Apabila diantara kalian berangkat menuju sholat Jum’at hendaknya lebih dahulu mandi.” (H.r. Muslim) Hadits mulia ini mengandung rahasia munajat agung di baliknya. Karena seorang hamba ketika sholat bermunajat dan ber-musyahadah kepada Tuhannya apalagi di hari Jum’at, sungguh merupakan musyahadah paling agung.
Hakikat Mandi
Bermandi di sini merupakan metaphor untuk mandi qalbu dan badan dan seluruh anggota fisik yang merupakan anjuran syariat. Tentu saja di dalamnya ada rahasia dibalik rahasia bermandi. Setiap anjuran syariat senantiasa ada makna batin hakikat di dalamnya, sekaligus makna lahir, yang tak bisa dijangkau oleh akal. Menyerahkan sepenuhnya segala perkara kepada Allah Swt.
Anak-anak sekalian….Siapa yang memandang kebajikan aturan Allah Ta’ala, kelembutan dan keparipurnaan Kuasanya atas segalanya, berarti ia akan mengetahui bahwa Allah Ta’ala itu berdiri dengan sendiriNya atas apa yang dilakukanNya, menggerakkan hambaNya dengan TanganNya, membolak-balik hati mereka menurut kehendakNya, kebahagiaan
dan kebinasaan mereka, karena aturan kehendakNya sudah mendahului, tak ada yang menolak rencanaNya dan tidak ada yangmengadili hukumNya.
Apabila hal itu benar-benar maujud, sang hamba akan bergantung penuh kepada Allah Ta’ala, menyerahkan sepenuh jiwanya dan teguh dengan pijakan rasa tak berdaya, hingga yang tersisa hanyalah “tiada daya dan kekuatan, tiada ikhtiar dan dan keterkaitan, tak ada upaya mengatur maupun bertanya.
Karena sesungguhnya riangnya di dunia dan di akhirat hanyalah bergantung kepada Allah Ta’ala. Dan susahnya dunia terletak pada ketergantungannya pada selain Allah Ta’ala, dan melihat daya dan kekuatannya pada diri sendiri. Ingatlah firman Allah Ta’ala kepada NabiNya ‘alaihishsolaatu was-salam:
“Katakan, “”Aku tidak punya kemampuan terhadap diriku, baik yang berguna maupun yang membahayakan, kecuali apa yang dikehendaki Allah.”
Begitu pula bagaimana Allah Ta’ala memberlakukan pada Nabi Musa as ketika sedang bingung, “Tuhanku, aku tidak menguasai kecuali diriku dan saudaraku…” (Al-Maidah 25)
Dikatakan, mengenai firman Allah Ta’ala, kepada Nabi Musa as, ”Maka lepaskanlah kedua sandalmu…” maksudnya adalah lepaskanlah keluarga dan anakmu dan segala hal selain Allah Ta’ala, dari hatimu. Allah bertanya kepada Nabi Musa as, “Apa yang ada di tangan kananmu wahai Musa?” Maka Musa menjawab, “itulah tongkatku…” dimana Nabi Musa as, menyandarkan tongkat pada dirinya. Allah Ta’ala bertanya,
“Apa yang akan kau perbuat dengan tongkat itu?” Musa menjawab,
“Aku pakai sebagai pegangan.”
Maka Allah Swt, memerintahkan kepadanya, “Lemparkanlah wahai Musa!” Maka beliau melemparkan tongkat itu, tiba-tiba berubah menjadi ular yang melata.
Allah Ta’ala berfirman kepada Musa as, “Hai Musa! Apa yang kau katakan “ini sebagai pegangan” telah menjadi musuhmu, karena engkau telah berpegang pada selain DiriKu.
Lalu Nabi Musa as, kembali kepada Allah Ta’ala, dan ketika Allah mengetahui kembalinya Musa, “Allah Swt berfirman, ambillah tongkat itu dan jangan takut!”.
Sedangkan Allah Swt, berfirman kepada Nabi kita saw, “Katakan Muhammad, tiada yang menimpa kami kecuali yang sudah ditulis Allah
pada kami.”
Bergantung pada Allah Ta’ala
Allah Ta’ala berfirman dalam hadits qudsi: “Tak seorang hamba pun yang turun padanya cobaan, lalu bergantung pada makhluk bukan padaKu, melainkan Aku memtuskan anugerah-anugerah langit dari tangannya dan Aku bebankan masalahnya pada dirinya.”
Siapa yang mendapatkan cobaan lalu bergantung pasdaKu bukan pada makhlukKu, melainkan Aku berikan padaNya sebelum ia meminta kepadaKu, dan Aku mengijabahi sebelum ia mendoa kepadaKu.”
Sebuah riwayat sampai pada kami, bahwa Allah Ta’ala berfirman kepada Nabi Dawud as, “Demi kemuliaan dan kebesaranKu, dan demi keagunganKu dan ketinggianKu di atas segala makhlukKu, bahwa tak seorang pun hamba yang bergantung padaKu bukan pada makhlukKu, dan aku tahu ketergantungan itu dari hatinya, maka ketika langit sampai ketujuh hingga para penghuninya, dan bumi sampai lapis tujuh dan seluruh penghuninya sedang merekadaya padanya, melain Aku memberi jalan keluar padanya.”
“Demi kemuliaan dan kebesaranKu, dan demi keagunganKu dan ketinggianKu di atas segala makhlukKu, bahwa tak seorang pun hamba yang bergantung pada makhlukKu bukan padaKu, dan aku tahu ketergantungan itu dari hatinya, kecuali Aku putus dirinya dari sebab-sebab yang menyelesaikannya, kemudian Aku tak peduli di lembah mana Aku binasakan Dia, dan Aku penuhi hatinya kesibukan, ambisi, angan-angan yang tak pernah sampai selama-salamanya.”
Dalam hadits dijelaskan, “Siapa yang bergantung kepada Allah dan memohon kepada Allah, maka manusia akan butuh kepadanya, dan dari lisannya terucapkan hikmah, serta ia dijadikan sebagai raja dunia akhirat. Sedangkan siapa yang bergantung kepada makhluk, bukan pada Allah Ta’ala, serta membebankan ketergantungan itu di hatinya, maka Allah Swt, menyiksanya, dan ia diputus dari sebab-sebab instrument dunia akhirat!”.
Dalam riwayat dikatakan, “Kosongkanlah dirimu dari kesusahan dunia semaksimalmu. Dan menghadaplah kepada Allah Ta’ala dengan hatimu, dan bergantunglah kepadaNya dalam segala urusanmu. Karena seorang hamba ketika menghadap kepada Allah Ta’ala dengan qalbunya,
Allah menghadapkan hati para hambaNya kepadaNya. Dan siapa yang bergantung kepada Allah, maka Allah Swt mencyukupi seluruh biayanya.”
Yahya bin Mu’adz ra ditanya, “Kapankah seseorang itu disebut bergantung kepada Allah Swt?”
“Ketika seseorang itu putus hatinya dari ketergantungan dengan segalanya, apakah ia punya maupun tidak, serta ia pun ridlo kepada Allah Ta’ala sebagai waki (tempat berserahnya),” jawabnya.
Allah Ta’ala berfirman kepada Nabi Dawud as, “Tak ada satu pun hamba yang beribadah kepadaNya, dan tak seorang pun yang taqarrub, yang lebih utama bagiKu ketimbang bergantung dan pasrah padaKu.”
Amir bin Qais ra berkata kepada salah satu ‘arifin, “Doakan kepada Allah untukku.”
Sang arif berkata, “Anda benar-benar minta tolong kepada orang yang lebih lemah dibanding anda sendiri? Taatlah pada Allagh Ta’ala, bergant7unglah padaNya, maka Allah Ta’ala akan memberikan yang lebih besar ketimbang yang diminta oleh para pemohon.”
Dalam wahyu yang diturunkan kepada Nabi Musa as, disebutkan, “Bila engkau ingin menjadi pemimpin dunia, dan menjadi pangeran dalam pandangan yang luhur, maka pasrah totallah dirimu pada perintahKu dan ridlo atas hukumKu.”
Al-Fudhail bin Iyadh ra, mengatakan, “Aku sungguh malu untuk mengatakan kepada Allah, bahwa aku ini bergantung kepada Allah. Karena orang yang bergantung kepada Allah Ta’ala, ia tidak pernah takut kepada selainNya, tidak pernah berharap selain Dia, dan hatinya putus dari gantungan dunia akhirat”.
Ditafsirkan mengenai arti firman Allah Ta’ala, “Inna Lillah” artinya adalah kami sebagai hamba Allah dan perangkatNya, berada dalam bolak balik kehendakNya dan ketentuanNya, setrta gerak gerik hamba ada di TanganNya.
“Inna Ilaihi Rooji’un” kami ridlo kepadaNya, pasrah padaNya, bergantung denganNya dan pasrah total hanya kepadaNya.
Diriwayatkan, bahwa Allah Ta’ala, berfirman kepada Nabi Musa as, “Pergilah ke Fir’aun sesungguhnya ia telah ingkar!”
Lantas Nabi Musa as, menyela, “Oh Tuhanku, bagaimana dengan kambing-kambingku dan anak isteriku?”
Allah Ta’ala berfirman, “Kalau engkau menemukanKu, maka manalagi yang akan engkau perbuat selain kepadaKu? Hai Musa! Berangkatlah, dan bergantunglah padaKu dan pasrah totallah hanya padaKu, serahkan urusanmu kepadaKu. Karena Aku jadikan harimau sebagai penggembala atas kambing-kambingmu dan para malaikat menjaga keluargamu.
Hai Musa ! Siapakah yang menyelamatkan dirimu dari Nil itu, hingga ditemukan oleh ibumu di sana? Siapakah yang mengembalikan dirimu pada bundamu setelah itu? Siapakah yang menyelamatkanmu dari musuhmu Fir’aun ketika engkau membunuh seseorang? Siapakah yang menyelamatkanmu dari Fir’aun ketika engkau melintasi sahara?”
Nabi Musa as, menjawab semuanya, “Engkau…Engkau….”
Ketahuilah siapa yang bergantung kepada selain Allah Swt, atau apa pun selain Allah maka orang itu terhinakan, keluar dari garis kehambaan. Karena batas kehambaan itu adalah: Menyerahkan upaya pilihannya kepada Sang Maha Perkasa.
Allah Ta’ala berfirman:
“Dan Tuhanmulah Yang Mencipta Yang DikehendakiNya dan Memilihkan,
tak ada bagi mereka pilihan.”
“Apa yang dibuka oleh Allah kepada manusia dari rahmat, maka tak satu pun bias menghadangnya.”
“Dan jika Allah menghalanginya atas suatu bahaya, tak seorang pun bisa mencegahnya kecuali Dia.”
“Katakan, tak satu pun musibah yang menimpa kami melainkan Allah sudah menentukan bagi kami.”
“Dan siapa yang pasrah total kepada Allah, maka Dia mencukupinya.”
Ketahuilah bahwa ubudiyah itu terbangun atas sepuluh dasar:
Bergantung kepada Allah Ta’ala dalam segala hal,
Ridlo kepada Allah Ta’ala dalam segalanya.
Kembali kepada Allah Ta’ala dalam segalanya.
Butuh kepada Allah Ta’ala di dalam segalanya.
Mengembalikan hati kepada Allah Ta’ala dalam segalanya.
Sabar bersama Allah dalam segalanya.
Memutuskan diri hanya kepada Allah dalam segala hal.
Istiqomah bersama Allah dalam segala hal.
Menyerahkan total kepada Allah Ta’ala dalam segala hal.
Pasrah segalanya dalam semua hal.
posted from; http://www.sufinews.com/index.php?option=com_content&view=article&id=893%3Asuci-badan-suci-badan-suci-qalbu&catid=59%3Ahadist-sufistik&Itemid=547&showall=1
Syeikh Ahmad ar-Rifa’y
Rasulullah saw, bersabda:
“Apabila diantara kalian berangkat menuju sholat Jum’at hendaknya lebih dahulu mandi.” (H.r. Muslim) Hadits mulia ini mengandung rahasia munajat agung di baliknya. Karena seorang hamba ketika sholat bermunajat dan ber-musyahadah kepada Tuhannya apalagi di hari Jum’at, sungguh merupakan musyahadah paling agung.
Hakikat Mandi
Bermandi di sini merupakan metaphor untuk mandi qalbu dan badan dan seluruh anggota fisik yang merupakan anjuran syariat. Tentu saja di dalamnya ada rahasia dibalik rahasia bermandi. Setiap anjuran syariat senantiasa ada makna batin hakikat di dalamnya, sekaligus makna lahir, yang tak bisa dijangkau oleh akal. Menyerahkan sepenuhnya segala perkara kepada Allah Swt.
Anak-anak sekalian….Siapa yang memandang kebajikan aturan Allah Ta’ala, kelembutan dan keparipurnaan Kuasanya atas segalanya, berarti ia akan mengetahui bahwa Allah Ta’ala itu berdiri dengan sendiriNya atas apa yang dilakukanNya, menggerakkan hambaNya dengan TanganNya, membolak-balik hati mereka menurut kehendakNya, kebahagiaan
dan kebinasaan mereka, karena aturan kehendakNya sudah mendahului, tak ada yang menolak rencanaNya dan tidak ada yangmengadili hukumNya.
Apabila hal itu benar-benar maujud, sang hamba akan bergantung penuh kepada Allah Ta’ala, menyerahkan sepenuh jiwanya dan teguh dengan pijakan rasa tak berdaya, hingga yang tersisa hanyalah “tiada daya dan kekuatan, tiada ikhtiar dan dan keterkaitan, tak ada upaya mengatur maupun bertanya.
Karena sesungguhnya riangnya di dunia dan di akhirat hanyalah bergantung kepada Allah Ta’ala. Dan susahnya dunia terletak pada ketergantungannya pada selain Allah Ta’ala, dan melihat daya dan kekuatannya pada diri sendiri. Ingatlah firman Allah Ta’ala kepada NabiNya ‘alaihishsolaatu was-salam:
“Katakan, “”Aku tidak punya kemampuan terhadap diriku, baik yang berguna maupun yang membahayakan, kecuali apa yang dikehendaki Allah.”
Begitu pula bagaimana Allah Ta’ala memberlakukan pada Nabi Musa as ketika sedang bingung, “Tuhanku, aku tidak menguasai kecuali diriku dan saudaraku…” (Al-Maidah 25)
Dikatakan, mengenai firman Allah Ta’ala, kepada Nabi Musa as, ”Maka lepaskanlah kedua sandalmu…” maksudnya adalah lepaskanlah keluarga dan anakmu dan segala hal selain Allah Ta’ala, dari hatimu. Allah bertanya kepada Nabi Musa as, “Apa yang ada di tangan kananmu wahai Musa?” Maka Musa menjawab, “itulah tongkatku…” dimana Nabi Musa as, menyandarkan tongkat pada dirinya. Allah Ta’ala bertanya,
“Apa yang akan kau perbuat dengan tongkat itu?” Musa menjawab,
“Aku pakai sebagai pegangan.”
Maka Allah Swt, memerintahkan kepadanya, “Lemparkanlah wahai Musa!” Maka beliau melemparkan tongkat itu, tiba-tiba berubah menjadi ular yang melata.
Allah Ta’ala berfirman kepada Musa as, “Hai Musa! Apa yang kau katakan “ini sebagai pegangan” telah menjadi musuhmu, karena engkau telah berpegang pada selain DiriKu.
Lalu Nabi Musa as, kembali kepada Allah Ta’ala, dan ketika Allah mengetahui kembalinya Musa, “Allah Swt berfirman, ambillah tongkat itu dan jangan takut!”.
Sedangkan Allah Swt, berfirman kepada Nabi kita saw, “Katakan Muhammad, tiada yang menimpa kami kecuali yang sudah ditulis Allah
pada kami.”
Bergantung pada Allah Ta’ala
Allah Ta’ala berfirman dalam hadits qudsi: “Tak seorang hamba pun yang turun padanya cobaan, lalu bergantung pada makhluk bukan padaKu, melainkan Aku memtuskan anugerah-anugerah langit dari tangannya dan Aku bebankan masalahnya pada dirinya.”
Siapa yang mendapatkan cobaan lalu bergantung pasdaKu bukan pada makhlukKu, melainkan Aku berikan padaNya sebelum ia meminta kepadaKu, dan Aku mengijabahi sebelum ia mendoa kepadaKu.”
Sebuah riwayat sampai pada kami, bahwa Allah Ta’ala berfirman kepada Nabi Dawud as, “Demi kemuliaan dan kebesaranKu, dan demi keagunganKu dan ketinggianKu di atas segala makhlukKu, bahwa tak seorang pun hamba yang bergantung padaKu bukan pada makhlukKu, dan aku tahu ketergantungan itu dari hatinya, maka ketika langit sampai ketujuh hingga para penghuninya, dan bumi sampai lapis tujuh dan seluruh penghuninya sedang merekadaya padanya, melain Aku memberi jalan keluar padanya.”
“Demi kemuliaan dan kebesaranKu, dan demi keagunganKu dan ketinggianKu di atas segala makhlukKu, bahwa tak seorang pun hamba yang bergantung pada makhlukKu bukan padaKu, dan aku tahu ketergantungan itu dari hatinya, kecuali Aku putus dirinya dari sebab-sebab yang menyelesaikannya, kemudian Aku tak peduli di lembah mana Aku binasakan Dia, dan Aku penuhi hatinya kesibukan, ambisi, angan-angan yang tak pernah sampai selama-salamanya.”
Dalam hadits dijelaskan, “Siapa yang bergantung kepada Allah dan memohon kepada Allah, maka manusia akan butuh kepadanya, dan dari lisannya terucapkan hikmah, serta ia dijadikan sebagai raja dunia akhirat. Sedangkan siapa yang bergantung kepada makhluk, bukan pada Allah Ta’ala, serta membebankan ketergantungan itu di hatinya, maka Allah Swt, menyiksanya, dan ia diputus dari sebab-sebab instrument dunia akhirat!”.
Dalam riwayat dikatakan, “Kosongkanlah dirimu dari kesusahan dunia semaksimalmu. Dan menghadaplah kepada Allah Ta’ala dengan hatimu, dan bergantunglah kepadaNya dalam segala urusanmu. Karena seorang hamba ketika menghadap kepada Allah Ta’ala dengan qalbunya,
Allah menghadapkan hati para hambaNya kepadaNya. Dan siapa yang bergantung kepada Allah, maka Allah Swt mencyukupi seluruh biayanya.”
Yahya bin Mu’adz ra ditanya, “Kapankah seseorang itu disebut bergantung kepada Allah Swt?”
“Ketika seseorang itu putus hatinya dari ketergantungan dengan segalanya, apakah ia punya maupun tidak, serta ia pun ridlo kepada Allah Ta’ala sebagai waki (tempat berserahnya),” jawabnya.
Allah Ta’ala berfirman kepada Nabi Dawud as, “Tak ada satu pun hamba yang beribadah kepadaNya, dan tak seorang pun yang taqarrub, yang lebih utama bagiKu ketimbang bergantung dan pasrah padaKu.”
Amir bin Qais ra berkata kepada salah satu ‘arifin, “Doakan kepada Allah untukku.”
Sang arif berkata, “Anda benar-benar minta tolong kepada orang yang lebih lemah dibanding anda sendiri? Taatlah pada Allagh Ta’ala, bergant7unglah padaNya, maka Allah Ta’ala akan memberikan yang lebih besar ketimbang yang diminta oleh para pemohon.”
Dalam wahyu yang diturunkan kepada Nabi Musa as, disebutkan, “Bila engkau ingin menjadi pemimpin dunia, dan menjadi pangeran dalam pandangan yang luhur, maka pasrah totallah dirimu pada perintahKu dan ridlo atas hukumKu.”
Al-Fudhail bin Iyadh ra, mengatakan, “Aku sungguh malu untuk mengatakan kepada Allah, bahwa aku ini bergantung kepada Allah. Karena orang yang bergantung kepada Allah Ta’ala, ia tidak pernah takut kepada selainNya, tidak pernah berharap selain Dia, dan hatinya putus dari gantungan dunia akhirat”.
Ditafsirkan mengenai arti firman Allah Ta’ala, “Inna Lillah” artinya adalah kami sebagai hamba Allah dan perangkatNya, berada dalam bolak balik kehendakNya dan ketentuanNya, setrta gerak gerik hamba ada di TanganNya.
“Inna Ilaihi Rooji’un” kami ridlo kepadaNya, pasrah padaNya, bergantung denganNya dan pasrah total hanya kepadaNya.
Diriwayatkan, bahwa Allah Ta’ala, berfirman kepada Nabi Musa as, “Pergilah ke Fir’aun sesungguhnya ia telah ingkar!”
Lantas Nabi Musa as, menyela, “Oh Tuhanku, bagaimana dengan kambing-kambingku dan anak isteriku?”
Allah Ta’ala berfirman, “Kalau engkau menemukanKu, maka manalagi yang akan engkau perbuat selain kepadaKu? Hai Musa! Berangkatlah, dan bergantunglah padaKu dan pasrah totallah hanya padaKu, serahkan urusanmu kepadaKu. Karena Aku jadikan harimau sebagai penggembala atas kambing-kambingmu dan para malaikat menjaga keluargamu.
Hai Musa ! Siapakah yang menyelamatkan dirimu dari Nil itu, hingga ditemukan oleh ibumu di sana? Siapakah yang mengembalikan dirimu pada bundamu setelah itu? Siapakah yang menyelamatkanmu dari musuhmu Fir’aun ketika engkau membunuh seseorang? Siapakah yang menyelamatkanmu dari Fir’aun ketika engkau melintasi sahara?”
Nabi Musa as, menjawab semuanya, “Engkau…Engkau….”
Ketahuilah siapa yang bergantung kepada selain Allah Swt, atau apa pun selain Allah maka orang itu terhinakan, keluar dari garis kehambaan. Karena batas kehambaan itu adalah: Menyerahkan upaya pilihannya kepada Sang Maha Perkasa.
Allah Ta’ala berfirman:
“Dan Tuhanmulah Yang Mencipta Yang DikehendakiNya dan Memilihkan,
tak ada bagi mereka pilihan.”
“Apa yang dibuka oleh Allah kepada manusia dari rahmat, maka tak satu pun bias menghadangnya.”
“Dan jika Allah menghalanginya atas suatu bahaya, tak seorang pun bisa mencegahnya kecuali Dia.”
“Katakan, tak satu pun musibah yang menimpa kami melainkan Allah sudah menentukan bagi kami.”
“Dan siapa yang pasrah total kepada Allah, maka Dia mencukupinya.”
Ketahuilah bahwa ubudiyah itu terbangun atas sepuluh dasar:
Bergantung kepada Allah Ta’ala dalam segala hal,
Ridlo kepada Allah Ta’ala dalam segalanya.
Kembali kepada Allah Ta’ala dalam segalanya.
Butuh kepada Allah Ta’ala di dalam segalanya.
Mengembalikan hati kepada Allah Ta’ala dalam segalanya.
Sabar bersama Allah dalam segalanya.
Memutuskan diri hanya kepada Allah dalam segala hal.
Istiqomah bersama Allah dalam segala hal.
Menyerahkan total kepada Allah Ta’ala dalam segala hal.
Pasrah segalanya dalam semua hal.
posted from; http://www.sufinews.com/index.php?option=com_content&view=article&id=893%3Asuci-badan-suci-badan-suci-qalbu&catid=59%3Ahadist-sufistik&Itemid=547&showall=1
Kamis, 04 Agustus 2011
Qonaah dan Roja; Mengubah Kekurangan Menjadi Kelebihan oleh Sirodjuddin
Menerima keadaan dan mengharapkan keadaan yang lebih baik bukanlah dua hal yang kontradiktif. Keduanya saling melengkapi dan oleh karenanya keduanya dapat disandingkan, hanya waktunya yang memang berbeda. Kita menerima apa yang sudah terjadi dan berharap apa yang mungkin akan terjadi. Sayangnya, manusia lebih banyak meratapi nasib buruk yang menimpanya dan kecewa dengan apa yang didapatnya, dan lebih sering mengkhawatiri tentang masa depannya.
Kekhawatiran ada yang berharga dan ada pula yang merugikan. Kekhawatiran dikatakan berharga apabila ia dapat mendorong seseorang untuk melakukan tindakan antisipatif terhadap berbagai kemungkinan di masa yang akan datang, seperti seorang pelajar yang belajar dengan sungguh-sungguh karena dia sadar jika malas dia tidak akan dapat diterima di Perguruan Tinggi favorit. Kekhawatiran seperti ini dapat mengantantarkan seseorang meraih keberuntungan yang mengagumkan. Dan kekhawatiran dikatakan merugikan apabila ia dapat menghambat seseorang meraih kemajuan, seperti seorang suami yang melarang istrinya melakukan aktifitas pengembangkan diri karena khawatir istrinya tidak akan lagi menghargai dan patuh padanya jika bertambah maju. Atau seorang istri yang melarang suaminya melanjutkan kuliah beasiswa ke luar negeri karena khawatir suaminya akan menikah lagi jika karirnya terus berkembang. Kekhawatiran seperti ini dapat membuat keterpurukan menjadi berkepanjangan.
Bagaimana seseorang menyikapi peristiwa yang sudah terjadi dan bagaimana dia memandang masa depannya sangat memengaruhi perasaan dan tindakan yang dilakukannya di masa sekarang. Meratapi kesalahan, kegagalan, atau kemalangan yang sudah terjadi dan khawatir tentang sesuatu yang belum tentu akan terjadi membuat seseorang menjadi tertekan dan tidak berdaya menghadapi masa sekarang dan pesimis dalam menatap masa depannya, yang pada gilirannya sikap pesimis ini akan merampas kekuatan besarnya dan menjadi penghalang utama bagi kemajuannya.
Segala peristiwa yang sudah terjadi pada diri seseorang bukan untuk diratapi, tetapi diterima untuk kemudian diambil hikmahnya sebagai pelajaran yang paling berharga dan penting bagi perkembangan dirinya selanjutnya. Penderitaan adalah cara yang dipergunakan Allah Swt. dalam mendidik manusia agar memperbaiki sistem hidupnya, membangkitkan antusiasmenya, mempertajam kecerdasannya sehingga dia lebih tegar, lebih dinamis, dan lebih handal
Allah Swt. berfirman, “Boleh jadi kamu membenci sesuatu , padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”. (QS. Al-Baqarah:216)
Menerima keadaan adalah sikap orang-orang yang jiwanya tercerahkan. Ia menjadi terapi paling efektif dalam mengatasi keputusasaan. Sayangnya, kebanyakan orang keliru dalam menyikapimya. Sikap menerima ini hanya diperlukan untuk segala apa sudah terjadi, adapun masa yang akan datang harus disikapi dengan harapan, bukan mencemaskan atau menghawatirkannnya.
Esensi kehidupan adalah keyakinan dan harapan. Ketika seseorang berharap kehidupannya menjadi lebih baik dan dia yakin bahwa Allah Swt akan mewujudkan harapannya, maka dia pun akan menjadi lebih baik, sementara jika selalu merasa cemas dan khawatir akan masa depannya berarti dia membiarkan kondisi buruknya itu terus berlanjut seumur hidupnya.
Realitas hidup yang sesungguhnya adalah yang sedang kita hadapi di masa sekarang. Masa lalu tidak mungkin akan kembal lagi, dan masa yang akan datang ketika tiba saatnya, ia pun menjadi masa sekarang. Keadaan kita di masa sekarang merupakan akibat dari segala tindakan yang telah kita perbuat di masa lalu, dan apa yang kita sukai dan perbuat di masa sekarang akan berakibat pada bagaimana keadaan kita di masa mendatang. Oleh karena itu, masa sekarang bukanlah saat bagi kita untuk meratap dan mengeluh, tetapi saat bagi kita untuk mulai bertindak merealisasikan harapan.
Harapan adalah keterikatan kehendak seseorang dengan sesuatu yang dia inginkan akan terjadi di masa yang akan datang. Dengan harapan, sikap pesimis berubah menjadi optimis. Seseorang yang mengharapkan sesuatu dan optimis mampu meraihnya akan berusaha semaksimal mungkin untuk merealisasikan harapan-harapannya. Seseorang yang berharap amalnya diterima oleh Allah Swt akan berusaha semaksimal mungkin untuk meningkatkan kualitas ibadahnya. Seorang pendosa yang mengharapkan ampunan dari Allah Swt. akan bertaubat dari perbuatan buruknya. Seseorang yang tertimpa musibah dan berharap dapat keluar dari musibah itu akan berusaha keras untuk mengatasinya. Seorang pelajar yang mengharapkan menjadi juara kelas akan berusaha merealisasikannya dengan belajar sungguh-sungguh. Ya, harapan membuat hidup penuh antusias.
Antusiasme seseorang sangat dipengaruhi oleh harapannya untuk terus maju. Semakin kuat harapan seseorang tentang masa depannya, semakin kuat pula antusiasmenya. Sebaliknya, semakin lemah harapannya, semakin lemah pula antusiasmenya. Setiap orang harus membiarkan antusiasmenya terus berkembang sehingga dengan antusiasmenya itu dia bertekad untuk merealisasikan harapan-harapannya, dan jangan membiarkan kekecewaan dan keputusasaan membuat antusiasmenya menjadi lumpuh.
Harapan dan antusiasme harus dibangun di atas landasan yang kokoh. Landasan yang dimaksud adalah kesadaran akan segala kekurangan dan kelemahan yang ada pada diri kita untuk kemudian kita jadikan keduanya sebagai kelebihan kita. Tentu ini bukan perkara mudah karena pada umumnya orang selalu berusaha menutup-nutupi segala kekurangan yang ada pada dirinya, terlebih lagi bagi mereka yang terjangkiti sifat takabbur.
Untuk membangkitkan kesadaran tersebut, kita seharusnya tidak menghitung-hitung sudah berapa banyak ilmu yang sudah kita ketahui dan kuasai, tapi pikirkan berapa banyak ilmu yang belum kita ketahui dan kuasai. Kita seharusnya tidak menghitung-hitung banyaknya amal kebaikan yang telah kita kerjakan, tapi pikirkan berapa banyak amal kebaikan yang masih belum kita lakukan. Kita seharusnya tidak menutupi kedua telinga kita dari kritikan orang lain, tapi dengarkan mereka karena kritikan sering kali membantu kita melihat kekurangan yang ada pada diri kita.
Berangkat dari kesadaran akan ketidaksempurnaan ini, kita bergerak maju menuju kepada kesempurnaan. Berawal dari kesadaran bahwa masih banyak ilmu yang belum kita kuasai, kita bergerak maju menuju kepada kesempurnaan ilmu dengan terus menggalinya. Berawal dari kesadaran masih banyaknya perintah Allah yang belum kita laksanakan dan banyaknya larangan yang belum mampu kita hindari, kita bergerak maju menuju kepada kesempurnaan ibadah dan pertaubatan. Dan dari kesadaran masih sedikitnya teman yang kita kenal, kita bergerak maju kepada pergaulan yang lebih luas.
Harapan dan antusiasme tidak dimiliki oleh orang yang larut dalam meratapi peristiwa malang yang sedang dialaminya dan tenggelam dalam kecemasan terhadap peristiwa yang belum tentu akan terjadi . Harapan dan antusiasme juga tidak dimiliki oleh orang yang merasa sombong dengan keadaannya di masa sekarang. Harapan dan antusiasme hanya dimiliki oleh orang yang dapat mengambil pelajaran dari setiap peristiwa yang telah dialaminya di masa lalu dan menyadari akan kekurangan yang ada pada dirinya sebagai pertimbangan bagi segala tindakannya di masa sekarang demi masa depannya.
Sikap yang tepat adalah kita menerima dan puas terhadap apa yang telah terjadi dan peroleh, berharap masa depan yang lebih baik, dan mulai bertindak merealisasikan harapan-harapan itu dengan penuh antusias di masa sekarang.
Setiap hari berarti suatu kehidupan baru, berbahagialah bagi orang yang dapat mengisi hari ini dengan ilmu dan amal saleh, bukan dengan meratapi masa lalu dan mencemasi masa depannya
http://psikologisufistik.wordpress.com/2011/08/03/qonaah-dan-roja-mengubah-kekurangan-menjadi-kelebihan/
.
Selasa, 02 Agustus 2011
MENGENAL NAFS oleh; Quito R. Motinggo
Menurut kaum 'irfan, salah satu jalan untuk mencapai ma'rifatullah atau pengenalan kepada Allah adalah ma'rifat al-nafs atau pengenalan kepada diri. Kebanyakan dari mereka menyandarkan pandangannya itu kepada hadis Nabi Saww : "Barangsiapa yang mengenal dirinya maka sungguh dia akan mengenal Tuhannya" (Bihar al-Anwar 2 : 32). Dari teks hadis ini bisa dipahami bahwa pengenalan diri merupakan keniscayaan yang dapat mengantarkan seseorang kepada pengenalan akan Tuhan. Mungkin karena itulah Imam Ali as berkata : "Aku heran kepada orang yang tidak (berusaha) mengenal dirinya, bagaimana (mungkin) ia bisa mengenal Tuhannya" (Mizan al-Hikmah 6 : 142).
Syahid Murtadha Muthahhari di dalam tulisannya Falsafe Akhlaq mencoba menjelaskan dualitas semu dari nafs (diri). Beliau mengatakan : "Kerapkali Alquran berbicara tentang nafs manusia, yang mana manusia harus berperang melawannya, karena kecenderungannya yang buruk, seperti : "Dan adapun orang-orang yang takut pada kebesaran Tuhannya dan menahan diri (nafs) dari hawa nafs, maka surgalah tempat tinggalnya" (QS 79 : 40), dan ayat lainnya : "Sesungguhnya nafs itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafs yang mendapatkan kerahiman Tuhanku (QS 12 : 53). Namun di lain ayat, Alquran menghormati dan menyanjung nafs : "Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada nafs (diri) mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik" (QS 59 : 19).
Muthahhari mengatakan : "Sekiranya nafs ini adalah nafs yang pertama (yang cenderung kepada yang buruk) maka alangkah baiknya jika mereka lupa." Dengan demikian seolah-olah ada dua nafs yang saling bertentangan. Karena itulah Murtadha Muthahhari membagi nafs menjadi dua macam : Nafs (diri) sejati dan nafs (diri) fantasi. Yang mana sesungguhnya nafs fantasi itu tidaklah maujud. Saya (penulis -red.) cenderung menyebut nafs sejati sebagai nafs insani, dan menyebut nafs fantasi dengan nafs hewani (Syahid Muthahhari kadang juga menyebut nafs fantasi dengan nafs hewani). Keberadaan keduanya hanyalah dilihat dari kecenderungannya. Jika nafs (diri) lebih condong kepada kesadaran Ilahiyyahnya (Ruh Ilahi), maka nafs ini dinamakan nafs insani, namun jika ia condong kepada unsur tanahnya atau jasadnya ia dinamakan nafs hewani. Hakikat nafs itu sendiri hanya satu yaitu nafs insani, sedangkan nafs hewani adalah nafs yang disangka manusia sebagai nafs hewani.
Sachiko Murata di dalam bukunya The Tao of Islam juga mencoba menjelaskan makna nafs secara lebih rinci dan jelas. Ia mengatakan bahwa banyak pengarang tdak membedakan antara nafs dan ruh. Memang dengan tidak membedakan keduanya kita akan bingung. Karenanya, Sachiko Murata berusaha membedakan keduanya dan menjelaskan potensinya masing-masing. Ruh tercipta dari cahaya (nur) dan sebagaimana para malaikat, sepenuhnya terpisah dengan dunia jasadi (materi). Sebaliknya, jasad atau tubuh manusia yang tercipta dari tanah liat bersifat gelap. Sementara nafs memiliki sifat-sifat dari kedua pihak tersebut dan bertindak sebagai perantara keduanya (ruh dan jasad). Nafs menjadi lembut dan bercahaya ketika menjalin hubungan dengan ruh, sebaliknya menjadi keras, padat, da gelap ketika menjalin hubungan dengan jasad. Posisi nafs berada di antara ruh dan jasad, ia menjadi barzakh (tanah genting) di antara keduanya . Biasanya nafs dianggap berada pada tingkat yang lebih rendah dari ruh, karena ruh berasal berasal langsung dari Tuhan : "Dan telah Kutiupkan ke dalam jasadnya Ruh-Ku" (QS 15 : 29). Dari ruh sifat-sifat Ilahi mengalir ke dalam nafs, seperti sifat-sifat kehidupan, pengetahuan, kehendak (iradah), kekuasaan (qudrah), pembicaraan, pendengaran, dan penglihatan. Nafs muncul setelah ruh, karenanya sering diacu sebagai anak ruh. Nafs bersikap reseptif dengan mewujudkan sifat-sifat ini melalui jasad. Ruh menyuburkan nafs dan nafs melahirkan aktivitas-aktivitas jasadi di dunia terlihat. Begitu ruh dan nafs hidup dalam keselarasan, yaitu masing-masing menjalankan fungsinya sesuai dengan hubungan itu, maka dimensi batin manusia akan merasakan kedamaian. Sebaliknya, jika terjadi kegagalan di dalam mewujudkan keselarasan dan keharmonisan antara ruh, nafs, dan jasad, manusia akan merasakan kegelisahan atau ketidaknyamanan. Sachiko Murata menggambarkan posisi ruh, nafs, dan jasad dengan mengatakan :
- Tuhan adalah langit dan ruh adalah bumi
- Ruh adalah langit dan nafs adalah bumi
- Nafs adalah langit dan jasad adalah bumi
- (The Tao of Islam)
NAFS FANTASI DAN KECENDERUNGAN BASYARIYYAH
"Demi nafs dan penyempurnaannya, maka Allah mengilhamkan kepada nafs itu kefasikan dan ketakwaannya" (QS 91 : 7-8).
Nafs yang condong kepada takwa, sesungguhnya telah ditarik oleh Ruh Ilahi, yang merupakan unsur Ketuhanan. Sebaliknya, jasad yang mewakili unsur tanah atau materi menarik nafs kepada kefasikan. Kecenderungan nafs kepada tanah atau kepada jasad disebut sebagai kecenderungan basyariyyah seperti makan, minum, berhubungan seks, dan segala aktivitas yang juga dilakukan oleh hewan. Karena itu Murtadha Muthahhari juga menyebutnya dengan nafs hewani (diri hewani). Tatkala Iblis membangkang untuk bersujud kepada Adam, ia berkata : "Aku sekali-kali tidak akan sujud kepada manusia (basyar) yang Engkau telah menciptakan dari tanah liat kering dari lumpur hitam yang diberi betuk " (QS 15 : 33). Iblis menggunakan kata basyar mengacu kepada penciptaan jasad manusia . Ia tertipu dan terhijabi oleh kecongkakannya sehingga ia melupakan bahwa selain sisi gelapnya , manusia juga memiliki sisi terang : "Dan telah Kutiupkan ke dalam (jasad)nya Ruh-Ku" (15 : 29). Ada secercah cahaya Ilahi dalam diri manusia. Semua manusia termasuk Nabi Saww juga sama memiliki kedua macam nafs ini. Allah Swt memerintahkan kepada Nabi Saww untuk mengatakan kepada manusia seperti manusia lainnya : "Katakanlah : "Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia (basyar) seperti kamu " (QS 18 : 110). Dalam banyak kesempatan Nabi Saww berkata kepada khalayak manusia : "Aku ini juga manusia seperti kalian, makan, minum, berkumpul dengan istri, dan berjalan di pasar-pasar."
Sesungguhnya kecenderungan basyariyyah ini tidak seluruhnya buruk, selama kecenderungan-kecenderungan ini diletakkan pada proporsi yang semestinya. Allah Swt justru memberikan pahala jika kecenderungan ini ditempatkan pada tempatnya, tetapi jika kecenderungan ini keluar dari batas-batas yang proporsional, maka hal inilah yang dicela agama.
Diriwayatkan oleh Abu Dzar ra bahwa para sahabat pernah bertanya kepada Rasulullah Saww tentang hubungan sebadan antara suami istri. "Bukankah kita merasakan nikmatnya, ya Rasulullah. Mengapa kita masih mendapat pahala juga ?" . Beliau menjawab, "Bukankah bila kamu menyalurkannya di jalan yang haram kamu berdosa ?" Sahabat menjawab,"Ya". Rasul berkata lagi, "Begitu juga kamu akan diberi pahala jika menyalurkannya pada jalan yang halal !" (Mustadrak al-Wasa'il 2 : 531).
TARIK MENARIK UNSUR TANAH DAN RUH ALLAH
Ruh Allah yang ditiupkan ke dalam jasad manusia merupakan sebuah potensialitas yang mampu menarik nafs dan mengangkatnya ke puncak kesadaran Ilahiyyah. Dengan ruh Ilahi inilah nafs sanggup mengadakan mi'raj melalui tafakkur, zikir, dan shalatnya. Dan dengan kesadaran Iahiyyah ini pula nafs mampu membentuk manusia yang arif, kuat, kreatif, serta memiliki tujuan yang luhur. Nafs yang mampu mencerap kekuatan ruh Ilahi dan sanggup mengontrol kecedenderungan jasadnya, akan mampu menarik manusia ke kesempurnaan Ilahi yang tiada batas. "Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya" (QS 95 : 4-5). Kata taqwîm mempunyai asal dan akar kata yang sama dengan al-qawîm yang berarti bagus, benar, dan atau lurus. Nafs insani mengarahkan manusia kepada Shirath al-Mustaqîm, jalan yang lurus ke surga ! Sebaliknya nafs hewani menjatuhkan manusia ke tempat yang rendah, neraka !
Tarik menarik yang berlawanan arah inilah yang senantiasa terjadi dalam diri (nafs) manusia. Karena itu jika manusia tidak segera mengambil langkah pasti untuk bermujahadah (berjihad terhadap nafs hewaninya -basyariyyah) niscaya ia akan dihinggapi keraguan. Ia menjadi seperti tangkai pendulum yang berayun-ayun antara ke dua arah itu. Nafs manusia diberikan kehendak bebas untuk memilih, Ruh Allah (kecederungan Ilahiyyah-nya) atau tanah ( : fisik - kecederungan basyarinya). Isyarat-isyarat itu, misalnya, terdapat pada surah 90 : 10, "Sesungguhnya beruntunglah manusia yang menyucikan nafs (diri)-nya dan sesungguhnya merugilah dia yang mengotori naf-nya" (QS 91:9-10).
posted from; http://aljawad.tripod.com/arsipbuletin/nafs.htm
"HURIP & URIP"
Makna Huruf Jawa pada Kata “Hurip” dan “Gessang”
Sepanjang sejarah kesusasteraan Jawa, telah dikenal berbagai tulisan asli yang antara lain adala htulisan Jawa yang merupakan unsur penting dari kebudayaan Jawa itu sendiri.
Tersebut suatu legenda yang menceriterakan kisah Pangeran Ajisaka yang rupa-rupanya bermula sebagai sebuah ceritera untuk menerangkan artinya dari kalimat yang muncul dari susunan abjad Jawa yang terdiri dari dua puluh huruf dengan artinya sebagai berikut:
Ha na ca ra ka : ada dua orang utusan
Da ta sa wa la : saling bertengkar
Pa dha ja ya nya : sama-sama kuat
Ma ga ba tha nga : kedua-duanya mati.
Masyarakat umum menganggap bahwa Ajisaka yang menciptakan huruf Jawa. Sementara para ahli menyatakan bahwa tulisan Jawa berasal dari suatu bentuk tulisan Sankerta Dewanagari dari India Selatan.
Dalam perkembangannya orang Jawa sudah banyak menggunakan huruf Latin dari pada huruf Jawa, namun di beberapa tempat masih ditemui tulisan yang menggunakan huruf Jawa. Bahkan oleh beberapa orang dinyatakan bahwa huruf Jawa memiliki falsafah atau makna bagi kehidupan manusia. Sebagai contoh:
Huruf ha diberi makna hidup: na berarti ada. Jadi ha na berarti adanya hidup, ca ra ka diartikan sebagai cipta rasa karsa: caraka berarti juga utusan atau duta.
Dengan demikian makna hana caraka adalah adanya hidup diciptakan oleh Tuhan yang diutus untuk memelihara alam lingkungan dengan berpedoman pada tuntunan-Nya sehingga manusia tidak banyak berbuat salah.
Huruf da berati Dhat: ta berarti tan (tanpa) sa wa la berarti salah. Jadi Da ta sawala berarti petunjuk yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa tidak pernah salah.
Huruf pa dha ja ya nya mengandung makna penggambaran diri manusia yang mana hati nuraninya tergoda oleh nafsu, maka sering timbul pertentangan di dalam dirinya. Oleh karena itu manusia diajarkan untul selalu memohon petunjuk kepada Tuhan Yang Maha Esa agar senantiasa berada dalam kebenaran.
Huruf ma ga ba tha nga; ma dan ga berarti sukama dan angga yang hidup dan berbudaya untuk mewujudkan tindak yang baik. Akhirnya ma, ga akan menjadi ba tha nga, yaitu mati apabila tugas sebagai caraka (utusan) telah selesai atau telah dikehendaki oleh Tuhan kembali (meninggal dunia). Demikian antara lain pengungkapan makna huruf Jawa ha na ca ra ka, da ta sa wa la, pa dha ja ya nya, ma ga ba tha nga.
Dalam kehidupan berbudaya ada beberapa orang yang dalam menghayati makna hidup dan kehidupannya menggunakan huruf Jawa sebagai alat untuk dapat memahami makna hidup tersebut. Seseorang sadar sepenuhnya bahwa di dalam dirinya diberi hidup sehingga dia berusaha memahami apa makna hidup itu. Berikut akan diungkap makna hidup dengan menggunakan uraian dari kata yang berhuruf Jawa.
Penjelasannya sebagai berikut: Yang disebut hidup itu terdiri dari dua jenis, yaitu yang disebut hurip dan gesang. Kata “urip” dalam huruf Jawa terdiri dari ha; berasal dari sebutan ma ha (maha) suku (u) mengandung makna tenaga, ra: berasal dari sebutan ha ra (getaran) wulu (i) mengandung maksud bahwa huruf yang di dulu adalah positif pa: mengandung maksud meliputi apa saja karena berasal dari sebutan apa-apa (apa) pangku (tanda huruf mati) mengandung maksud kebahagiaan hu: berasal dari sebutan satuhu 9suatu sifat nyata) rip: berasal dari sesebutan mirip (serupa). Kata “hurip” sebelum diberikan sandangan akan tertulis ha ra pa yang artinya hadap dan kehendak (nafsu).
Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa yang disebut “hurip” (hidup) adalah Maha Tenaga yang bergetar, yang memiliki kebahagiaan seperti mulia dan kebiasaan yang bermacam-macam serta mempunyai kehendak. Adapun sifat hidup adalah getaran-getaran yang memenuhi dan meliputi alam semesta yang kesemuanya berujud mirip antara yang satu dengan lain. Getaran itu disebut “hara”. Sebutan nama tersebut berasal dari adanya pengetahuan suatu gerak yang sangat cepat dan hanya bisa ditirukan oleh gerakan lidah, sehingga akan keluar bunyi dari mulut: “rrrraaaaa”. Karena hal tersebut bersifat maha, maka sebutan maha dan ra dijadikan satu sebutan “mahara” yang disingkat “hara”. Hara memiliki kebiasaan, maka sebutan “hara” dan “bisa” disatukan menjadi “harabisa”, yang kemudian disingkat “rasa”, karena sebutan “rasa” berasal dari sebutan “hurip”, maka rasa adalah hurip yang memiliki hadap kehendak kebiasaan kebahagiaan yang semuanya bersifat nyata serupa/mirip.
Berikut makna hidup dari apa yang disebut dengan gessang. Kata “gessang” dalam huruf Jawa terdiri dari: ga: berasal dari sebuta ra ga (raga/sifat berwujud) pepet (e) mengandung maksud perasaan/rasa kulit. Sa: berasal dari sebutan ra sa (rasa) pangku (tanda huruf mati): mengandung maksud sanga (sembilan) sa: berasal dari sebutan ra sa (rasa) setcak (tanda bunyi sengau) mengandung maksud sanga (sembilan). Ges: berasal dari sebutan teges (arti). Sang: berasal dari sebutan tumangsang (terkait) kata “gesang” sebelum mendapatkan sandangan tertulis ga sa sa nga, yang berasal dari sebutan gagasa (gagasan(, sanga (sembilan) maksudnya gagasa atau pikir itu terkait oleh sembilan rasa. Dari penjelasan tersebut disimpulkan bahwa yang disebut “gessang” adalah hidup yang memiliki raga, mengandung sembilan rasa positif dan rasa kulit yang mengikat pikir.
Sembilan rasa tersebut:
2 rasa pengelihatan kanan dan kiri
2 rasa pendengaran kanan dan kiri
2 rasa pembauan kanan dan kiri
1 rasa lidah
1 rasa dubur dan 1 rasa kelamin.
Sembilan rasa tersebut masing-masing mengikat gagasan/pikir. Hidup yang berwujud demikian berada di atas permukaan bumi dan harus mempunyai arti atau berguna.
Hidup yang disebut dengan “gessang” ini berasal dari “hurip” yang masing-masing memiliki tenaga hadap dan kehendak. Demikian makna hidup yang dijelaskan melalui kata “hurip” dan “gessang”.
Sebutan “hidup” erat sekali hubungannya dengan sebutan yang Maha Hidup. Untuk memberikan pengertian Yang Maha Hidup, dijelaskan dengan menggunakan kata “halah” dalam huruf Jawa sebagai berikut:
Ha: berasal dari sebutan ma-ha (maha). Suara Ha adalah suara bernafas yang menunukkan hidup. Maka ha mengandung maksud “Yang Maha Hidup”.
Ia: berasal dari sebutan hala (kasar).
Wignyan (huruf mati): mengandung maksud sebagian dari Yang Maha.
Lah: berasal dari sebutan oleh dan polah (memasak dan bergerak).
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa yang disebut “Halah” (Alah) adalah Yang Maha Hidup, yaitu yang memasak atau mengadakan segala sesuatu mulai dari tidak ada menjadi ada, dari sifat yang terhalus menjadi sifat yang terkasar yang semuanya itu digerakkan atau dihidupi. Adapun dijadikannya sifat-sifat kasar atau berwujud itu hanya sebagian dari sifat ke-MahaanNya.
Demikian makna dari kata berhuruf Jawa “hurip” dan “gessang” yang mengandung arti hidup, yang ternyata di dalamnya terkandung makna yang dalam dan bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Dari uraian tersebut dapat diketahui betapa tingginya pengetahuan yang telah dicapai oleh leluhur bangsa kita dengan membuat suatu bahasa dan tulisan yang bermakna luhur. Hal demikian dapat menambah pengetahuan dan khasanah budaya bangsa kita.
Sumber:
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1995. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara VI. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Sepanjang sejarah kesusasteraan Jawa, telah dikenal berbagai tulisan asli yang antara lain adala htulisan Jawa yang merupakan unsur penting dari kebudayaan Jawa itu sendiri.
Tersebut suatu legenda yang menceriterakan kisah Pangeran Ajisaka yang rupa-rupanya bermula sebagai sebuah ceritera untuk menerangkan artinya dari kalimat yang muncul dari susunan abjad Jawa yang terdiri dari dua puluh huruf dengan artinya sebagai berikut:
Ha na ca ra ka : ada dua orang utusan
Da ta sa wa la : saling bertengkar
Pa dha ja ya nya : sama-sama kuat
Ma ga ba tha nga : kedua-duanya mati.
Masyarakat umum menganggap bahwa Ajisaka yang menciptakan huruf Jawa. Sementara para ahli menyatakan bahwa tulisan Jawa berasal dari suatu bentuk tulisan Sankerta Dewanagari dari India Selatan.
Dalam perkembangannya orang Jawa sudah banyak menggunakan huruf Latin dari pada huruf Jawa, namun di beberapa tempat masih ditemui tulisan yang menggunakan huruf Jawa. Bahkan oleh beberapa orang dinyatakan bahwa huruf Jawa memiliki falsafah atau makna bagi kehidupan manusia. Sebagai contoh:
Huruf ha diberi makna hidup: na berarti ada. Jadi ha na berarti adanya hidup, ca ra ka diartikan sebagai cipta rasa karsa: caraka berarti juga utusan atau duta.
Dengan demikian makna hana caraka adalah adanya hidup diciptakan oleh Tuhan yang diutus untuk memelihara alam lingkungan dengan berpedoman pada tuntunan-Nya sehingga manusia tidak banyak berbuat salah.
Huruf da berati Dhat: ta berarti tan (tanpa) sa wa la berarti salah. Jadi Da ta sawala berarti petunjuk yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa tidak pernah salah.
Huruf pa dha ja ya nya mengandung makna penggambaran diri manusia yang mana hati nuraninya tergoda oleh nafsu, maka sering timbul pertentangan di dalam dirinya. Oleh karena itu manusia diajarkan untul selalu memohon petunjuk kepada Tuhan Yang Maha Esa agar senantiasa berada dalam kebenaran.
Huruf ma ga ba tha nga; ma dan ga berarti sukama dan angga yang hidup dan berbudaya untuk mewujudkan tindak yang baik. Akhirnya ma, ga akan menjadi ba tha nga, yaitu mati apabila tugas sebagai caraka (utusan) telah selesai atau telah dikehendaki oleh Tuhan kembali (meninggal dunia). Demikian antara lain pengungkapan makna huruf Jawa ha na ca ra ka, da ta sa wa la, pa dha ja ya nya, ma ga ba tha nga.
Dalam kehidupan berbudaya ada beberapa orang yang dalam menghayati makna hidup dan kehidupannya menggunakan huruf Jawa sebagai alat untuk dapat memahami makna hidup tersebut. Seseorang sadar sepenuhnya bahwa di dalam dirinya diberi hidup sehingga dia berusaha memahami apa makna hidup itu. Berikut akan diungkap makna hidup dengan menggunakan uraian dari kata yang berhuruf Jawa.
Penjelasannya sebagai berikut: Yang disebut hidup itu terdiri dari dua jenis, yaitu yang disebut hurip dan gesang. Kata “urip” dalam huruf Jawa terdiri dari ha; berasal dari sebutan ma ha (maha) suku (u) mengandung makna tenaga, ra: berasal dari sebutan ha ra (getaran) wulu (i) mengandung maksud bahwa huruf yang di dulu adalah positif pa: mengandung maksud meliputi apa saja karena berasal dari sebutan apa-apa (apa) pangku (tanda huruf mati) mengandung maksud kebahagiaan hu: berasal dari sebutan satuhu 9suatu sifat nyata) rip: berasal dari sesebutan mirip (serupa). Kata “hurip” sebelum diberikan sandangan akan tertulis ha ra pa yang artinya hadap dan kehendak (nafsu).
Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa yang disebut “hurip” (hidup) adalah Maha Tenaga yang bergetar, yang memiliki kebahagiaan seperti mulia dan kebiasaan yang bermacam-macam serta mempunyai kehendak. Adapun sifat hidup adalah getaran-getaran yang memenuhi dan meliputi alam semesta yang kesemuanya berujud mirip antara yang satu dengan lain. Getaran itu disebut “hara”. Sebutan nama tersebut berasal dari adanya pengetahuan suatu gerak yang sangat cepat dan hanya bisa ditirukan oleh gerakan lidah, sehingga akan keluar bunyi dari mulut: “rrrraaaaa”. Karena hal tersebut bersifat maha, maka sebutan maha dan ra dijadikan satu sebutan “mahara” yang disingkat “hara”. Hara memiliki kebiasaan, maka sebutan “hara” dan “bisa” disatukan menjadi “harabisa”, yang kemudian disingkat “rasa”, karena sebutan “rasa” berasal dari sebutan “hurip”, maka rasa adalah hurip yang memiliki hadap kehendak kebiasaan kebahagiaan yang semuanya bersifat nyata serupa/mirip.
Berikut makna hidup dari apa yang disebut dengan gessang. Kata “gessang” dalam huruf Jawa terdiri dari: ga: berasal dari sebuta ra ga (raga/sifat berwujud) pepet (e) mengandung maksud perasaan/rasa kulit. Sa: berasal dari sebutan ra sa (rasa) pangku (tanda huruf mati): mengandung maksud sanga (sembilan) sa: berasal dari sebutan ra sa (rasa) setcak (tanda bunyi sengau) mengandung maksud sanga (sembilan). Ges: berasal dari sebutan teges (arti). Sang: berasal dari sebutan tumangsang (terkait) kata “gesang” sebelum mendapatkan sandangan tertulis ga sa sa nga, yang berasal dari sebutan gagasa (gagasan(, sanga (sembilan) maksudnya gagasa atau pikir itu terkait oleh sembilan rasa. Dari penjelasan tersebut disimpulkan bahwa yang disebut “gessang” adalah hidup yang memiliki raga, mengandung sembilan rasa positif dan rasa kulit yang mengikat pikir.
Sembilan rasa tersebut:
2 rasa pengelihatan kanan dan kiri
2 rasa pendengaran kanan dan kiri
2 rasa pembauan kanan dan kiri
1 rasa lidah
1 rasa dubur dan 1 rasa kelamin.
Sembilan rasa tersebut masing-masing mengikat gagasan/pikir. Hidup yang berwujud demikian berada di atas permukaan bumi dan harus mempunyai arti atau berguna.
Hidup yang disebut dengan “gessang” ini berasal dari “hurip” yang masing-masing memiliki tenaga hadap dan kehendak. Demikian makna hidup yang dijelaskan melalui kata “hurip” dan “gessang”.
Sebutan “hidup” erat sekali hubungannya dengan sebutan yang Maha Hidup. Untuk memberikan pengertian Yang Maha Hidup, dijelaskan dengan menggunakan kata “halah” dalam huruf Jawa sebagai berikut:
Ha: berasal dari sebutan ma-ha (maha). Suara Ha adalah suara bernafas yang menunukkan hidup. Maka ha mengandung maksud “Yang Maha Hidup”.
Ia: berasal dari sebutan hala (kasar).
Wignyan (huruf mati): mengandung maksud sebagian dari Yang Maha.
Lah: berasal dari sebutan oleh dan polah (memasak dan bergerak).
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa yang disebut “Halah” (Alah) adalah Yang Maha Hidup, yaitu yang memasak atau mengadakan segala sesuatu mulai dari tidak ada menjadi ada, dari sifat yang terhalus menjadi sifat yang terkasar yang semuanya itu digerakkan atau dihidupi. Adapun dijadikannya sifat-sifat kasar atau berwujud itu hanya sebagian dari sifat ke-MahaanNya.
Demikian makna dari kata berhuruf Jawa “hurip” dan “gessang” yang mengandung arti hidup, yang ternyata di dalamnya terkandung makna yang dalam dan bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Dari uraian tersebut dapat diketahui betapa tingginya pengetahuan yang telah dicapai oleh leluhur bangsa kita dengan membuat suatu bahasa dan tulisan yang bermakna luhur. Hal demikian dapat menambah pengetahuan dan khasanah budaya bangsa kita.
Sumber:
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1995. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara VI. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Langganan:
Postingan (Atom)