Menerima keadaan dan mengharapkan keadaan yang lebih baik bukanlah dua hal yang kontradiktif. Keduanya saling melengkapi dan oleh karenanya keduanya dapat disandingkan, hanya waktunya yang memang berbeda. Kita menerima apa yang sudah terjadi dan berharap apa yang mungkin akan terjadi. Sayangnya, manusia lebih banyak meratapi nasib buruk yang menimpanya dan kecewa dengan apa yang didapatnya, dan lebih sering mengkhawatiri tentang masa depannya.
Kekhawatiran ada yang berharga dan ada pula yang merugikan. Kekhawatiran dikatakan berharga apabila ia dapat mendorong seseorang untuk melakukan tindakan antisipatif terhadap berbagai kemungkinan di masa yang akan datang, seperti seorang pelajar yang belajar dengan sungguh-sungguh karena dia sadar jika malas dia tidak akan dapat diterima di Perguruan Tinggi favorit. Kekhawatiran seperti ini dapat mengantantarkan seseorang meraih keberuntungan yang mengagumkan. Dan kekhawatiran dikatakan merugikan apabila ia dapat menghambat seseorang meraih kemajuan, seperti seorang suami yang melarang istrinya melakukan aktifitas pengembangkan diri karena khawatir istrinya tidak akan lagi menghargai dan patuh padanya jika bertambah maju. Atau seorang istri yang melarang suaminya melanjutkan kuliah beasiswa ke luar negeri karena khawatir suaminya akan menikah lagi jika karirnya terus berkembang. Kekhawatiran seperti ini dapat membuat keterpurukan menjadi berkepanjangan.
Bagaimana seseorang menyikapi peristiwa yang sudah terjadi dan bagaimana dia memandang masa depannya sangat memengaruhi perasaan dan tindakan yang dilakukannya di masa sekarang. Meratapi kesalahan, kegagalan, atau kemalangan yang sudah terjadi dan khawatir tentang sesuatu yang belum tentu akan terjadi membuat seseorang menjadi tertekan dan tidak berdaya menghadapi masa sekarang dan pesimis dalam menatap masa depannya, yang pada gilirannya sikap pesimis ini akan merampas kekuatan besarnya dan menjadi penghalang utama bagi kemajuannya.
Segala peristiwa yang sudah terjadi pada diri seseorang bukan untuk diratapi, tetapi diterima untuk kemudian diambil hikmahnya sebagai pelajaran yang paling berharga dan penting bagi perkembangan dirinya selanjutnya. Penderitaan adalah cara yang dipergunakan Allah Swt. dalam mendidik manusia agar memperbaiki sistem hidupnya, membangkitkan antusiasmenya, mempertajam kecerdasannya sehingga dia lebih tegar, lebih dinamis, dan lebih handal
Allah Swt. berfirman, “Boleh jadi kamu membenci sesuatu , padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”. (QS. Al-Baqarah:216)
Menerima keadaan adalah sikap orang-orang yang jiwanya tercerahkan. Ia menjadi terapi paling efektif dalam mengatasi keputusasaan. Sayangnya, kebanyakan orang keliru dalam menyikapimya. Sikap menerima ini hanya diperlukan untuk segala apa sudah terjadi, adapun masa yang akan datang harus disikapi dengan harapan, bukan mencemaskan atau menghawatirkannnya.
Esensi kehidupan adalah keyakinan dan harapan. Ketika seseorang berharap kehidupannya menjadi lebih baik dan dia yakin bahwa Allah Swt akan mewujudkan harapannya, maka dia pun akan menjadi lebih baik, sementara jika selalu merasa cemas dan khawatir akan masa depannya berarti dia membiarkan kondisi buruknya itu terus berlanjut seumur hidupnya.
Realitas hidup yang sesungguhnya adalah yang sedang kita hadapi di masa sekarang. Masa lalu tidak mungkin akan kembal lagi, dan masa yang akan datang ketika tiba saatnya, ia pun menjadi masa sekarang. Keadaan kita di masa sekarang merupakan akibat dari segala tindakan yang telah kita perbuat di masa lalu, dan apa yang kita sukai dan perbuat di masa sekarang akan berakibat pada bagaimana keadaan kita di masa mendatang. Oleh karena itu, masa sekarang bukanlah saat bagi kita untuk meratap dan mengeluh, tetapi saat bagi kita untuk mulai bertindak merealisasikan harapan.
Harapan adalah keterikatan kehendak seseorang dengan sesuatu yang dia inginkan akan terjadi di masa yang akan datang. Dengan harapan, sikap pesimis berubah menjadi optimis. Seseorang yang mengharapkan sesuatu dan optimis mampu meraihnya akan berusaha semaksimal mungkin untuk merealisasikan harapan-harapannya. Seseorang yang berharap amalnya diterima oleh Allah Swt akan berusaha semaksimal mungkin untuk meningkatkan kualitas ibadahnya. Seorang pendosa yang mengharapkan ampunan dari Allah Swt. akan bertaubat dari perbuatan buruknya. Seseorang yang tertimpa musibah dan berharap dapat keluar dari musibah itu akan berusaha keras untuk mengatasinya. Seorang pelajar yang mengharapkan menjadi juara kelas akan berusaha merealisasikannya dengan belajar sungguh-sungguh. Ya, harapan membuat hidup penuh antusias.
Antusiasme seseorang sangat dipengaruhi oleh harapannya untuk terus maju. Semakin kuat harapan seseorang tentang masa depannya, semakin kuat pula antusiasmenya. Sebaliknya, semakin lemah harapannya, semakin lemah pula antusiasmenya. Setiap orang harus membiarkan antusiasmenya terus berkembang sehingga dengan antusiasmenya itu dia bertekad untuk merealisasikan harapan-harapannya, dan jangan membiarkan kekecewaan dan keputusasaan membuat antusiasmenya menjadi lumpuh.
Harapan dan antusiasme harus dibangun di atas landasan yang kokoh. Landasan yang dimaksud adalah kesadaran akan segala kekurangan dan kelemahan yang ada pada diri kita untuk kemudian kita jadikan keduanya sebagai kelebihan kita. Tentu ini bukan perkara mudah karena pada umumnya orang selalu berusaha menutup-nutupi segala kekurangan yang ada pada dirinya, terlebih lagi bagi mereka yang terjangkiti sifat takabbur.
Untuk membangkitkan kesadaran tersebut, kita seharusnya tidak menghitung-hitung sudah berapa banyak ilmu yang sudah kita ketahui dan kuasai, tapi pikirkan berapa banyak ilmu yang belum kita ketahui dan kuasai. Kita seharusnya tidak menghitung-hitung banyaknya amal kebaikan yang telah kita kerjakan, tapi pikirkan berapa banyak amal kebaikan yang masih belum kita lakukan. Kita seharusnya tidak menutupi kedua telinga kita dari kritikan orang lain, tapi dengarkan mereka karena kritikan sering kali membantu kita melihat kekurangan yang ada pada diri kita.
Berangkat dari kesadaran akan ketidaksempurnaan ini, kita bergerak maju menuju kepada kesempurnaan. Berawal dari kesadaran bahwa masih banyak ilmu yang belum kita kuasai, kita bergerak maju menuju kepada kesempurnaan ilmu dengan terus menggalinya. Berawal dari kesadaran masih banyaknya perintah Allah yang belum kita laksanakan dan banyaknya larangan yang belum mampu kita hindari, kita bergerak maju menuju kepada kesempurnaan ibadah dan pertaubatan. Dan dari kesadaran masih sedikitnya teman yang kita kenal, kita bergerak maju kepada pergaulan yang lebih luas.
Harapan dan antusiasme tidak dimiliki oleh orang yang larut dalam meratapi peristiwa malang yang sedang dialaminya dan tenggelam dalam kecemasan terhadap peristiwa yang belum tentu akan terjadi . Harapan dan antusiasme juga tidak dimiliki oleh orang yang merasa sombong dengan keadaannya di masa sekarang. Harapan dan antusiasme hanya dimiliki oleh orang yang dapat mengambil pelajaran dari setiap peristiwa yang telah dialaminya di masa lalu dan menyadari akan kekurangan yang ada pada dirinya sebagai pertimbangan bagi segala tindakannya di masa sekarang demi masa depannya.
Sikap yang tepat adalah kita menerima dan puas terhadap apa yang telah terjadi dan peroleh, berharap masa depan yang lebih baik, dan mulai bertindak merealisasikan harapan-harapan itu dengan penuh antusias di masa sekarang.
Setiap hari berarti suatu kehidupan baru, berbahagialah bagi orang yang dapat mengisi hari ini dengan ilmu dan amal saleh, bukan dengan meratapi masa lalu dan mencemasi masa depannya
http://psikologisufistik.wordpress.com/2011/08/03/qonaah-dan-roja-mengubah-kekurangan-menjadi-kelebihan/
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar